Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada "Konde" dan "Kidung" Ibu Indonesia

6 April 2018   18:48 Diperbarui: 6 April 2018   20:43 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kulonprogokab.go.id

Tiba-tiba di group WA ibu-ibu Komplek menjadi ramai membicarakan masalah konde dan kidung Ibu Indonesia. Dalam benak hanya berpikir ibu-ibu sepagi ini sudah bersautan membicarakan topik yang berat jauh dari "ranah" keseharian tentang harga kebutuhan pokok yang mulai "berganti" menjelang Romadhon. Topik itupun hanya terbaca sekilas karena sedang asyik menulis untuk di "unggah/upload" di Kompasiana.com. Anehnya topik tentang konde dan kidung ibu Indonesia mulai berseliweran di group WA lain, TV, dan blog Kompasiana.

Awalnya "cuek", diabaikan topik ini karena sangat sensitif berkaitan dengan masalah syariat Islam, menurut KBBI berarti hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Jujur masalah syariat Islam ini bagi penulis masih dalam taraf belajar, ilmunya sangat dangkal, jadi tidak akan dibahas di tulisan ini.

Konde (gelung rambut, sanggul) dan kidung (nyanyian, lagu (syair yang dinyanyikan), puisi), ibu Indonesia adalah puisi yang dibacakan oleh Ibu Sukmawati Sukarnoputri ketika acara 29 tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Selatan pada 2 April 2018.

Sebagai orang awam yang kurang faham masalah "rasa seni" dan secara harfiah membaca tulisan puisi itu dalam hati hanya berbisik, sangat sensitif menyinggung masalah suku, agama, ras, dan antar golongan. Cepat memantik "suasana hati" yang tenang, aman, nyaman, menjadi "tersinggung" dan tersulut, walaupun hal itu tidak ada niatan apapun, semata masalah budaya dan seni. Padahal puisi itu sudah dibukukan dalam Ibu Indonesia tahun 2006.  Apalagi tahun 2018 sebagai tahun politik untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak persiapan pemilihan presiden 2019.

Terlepas dari semua itu Indonesia yang terdiri dari 16.056 pulau sudah dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang The United Nation Conference on Standardization on Geographical Names (UNCSGN) ke-XI di New York Amerika Serikat pada bulan Agustus 2017. Dari berbagai pulau yang terbentang mulai Sabang sampai Merauke itu memiliki budaya, seni, adat istiadat, agama, bahasa, suku, ras, warna kulit. Ini semua menjadi aset yang luar biasa karena tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia.

Orang perempuan zaman "old" mempunyai rambut panjang, supaya tidak mengganggu aktivitas selalu digelung dan diberi tusuk konde berfungsi sebagai hiasan dan mengencangkan biar tidak gampang lepas (terjatuh). Tusuk konde terbuat dari logam mulia, perak, atau tanduk hewan dengan hiasan batu permata putih atau berwarna. Konde ini biasa dipakai golongan ningrat dari kerajaan di Pulai Jawa, dengan pakaian tradisional berupa kain kebaya lengkap dengan konde (berbentuk ukel maupun bulat). 

Bila rambut asli kurang panjang dapat ditambah dengan cemara (rambut asli yang rontok dikumpulkan, oleh ahlinya disusun dengan benang agar menjadi untaian rambut asli). Bagi yang tidak terbiasa memakai konde tidak heran kalau kepala menjadi pusing karena ikatan yang terlalu kencang atau cemara yang berat.

Seiring dengan perkembangan jaman, ibu Indonesia jarang memakai kain kebaya dan berkonde, tetapi memakai rok seperti noni-noni Belanda dan rambut dipotong pendek. Konde dan asesories mulai ditinggalkan oleh para perempuan, kecuali peringatan hari Kartini, resepsi pernikahan, hari-hari besar nasional. 

Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ada Peraturan Gubernur No.27 Tahun 2014 tentang Penggunaan Pakaian Tradisional Jawa Yogyakarta Bagi Pegawai Pada hari Tertentu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahwa pakaian tradisional Jawa sebagai budaya perlu dilestarikan dan dipromosikan. Pakaian dengan model tertentu mengacu model yang dipakai oleh Abdi Dalem Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, yang digunakan oleh PNS/CPNS dan pegawai tidak tetap.

Dalam pasal 3 disebutkan bahwa penggunaan pakaian tradisional ini untuk pegawai laki-lai baju surjan (takwa) bahan dasar lurik dengan corak selain yang digunakan abdi dalem atau warna polos, blangkon gaya Yogyakarta batik cap/tulis, kain/jarik batik diwiru biasa dan berlatar ireng (hitam)/putih, lonthong/sabuk bahan satin polos, kamus/epek, memakai keris, dan selop/cenela.

Selanjutnya bagi pegawai perempuan baju kebaya tangkepan dengan bahan dasar lurik atau warna polos, kain/jarik batik yang diwiru biasa dan berlatar warna ireng/putih, menggunakan gelung tekuk tanpa asesoris atau jilbab bagi muslimah, dan memakai selop/canela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun