Setiap orang mempunyai kebutuhan dasar, sehingga termotivasi untuk dapat memenuhinya. Menurut Abraham Maslow dalam Frank G.Goble (1992:71) kebutuhan yang paling dasar (fisiologis), paling kuat dan paling jelas adalah kebutuhan untuk mempertahan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhannya akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen.Â
Teori Abraham Maslow yang sangat terkenal yaitu hierarchy of needs (hirarki kebutuhan), yaitu tingkatan kebutuhan manusia yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Antara kebutuhan dasar dan aktualisasi diri ada kebutuhan rasa aman dan tenteram, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi dan kebutuhan untuk dihargai.
Kebutuhan dasar manusia juga terjadi perubahan, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban. Kalau dulu kebutuhan dasar hanya pangan, papan dan sandang, saat ini bertambah kesehatan dan pendidikan. Selain itu, masih ada yang hakiki yaitu kebutuhan spiritual. Wajar bila setiap orang berusaha memenuhi dan menyeimbangkan kebutuhan fisik, psikis dan spiritualnya. Untuk memenuhinya diperlukan biaya yang dinilai secara nominal dengan mata uang yang berlaku.Â
Uang sangat berarti bagi kehidupan, karena menjadi nilai tukar untuk memenuhi kebutuhannya, walaupun ada yang tanpa uang alias gratis. Biaya kebutuhan hidup  diperoleh dengan bekerja yang menjalani profesinya, sehingga mendapat penghasilan.
Masalahnya, tidak semua orang mempunyai penghasilan yang "layak" untuk memenuhi standar hidup minimum. Padahal setiap hari harus memenuhi kebutuhan pokok/primer khususnya makan, untuk mempertahankan hidupnya. Kalau tidak mempunyai uang, salah satu jalan yang ditempuh adalah pinjam ke orang lain.
 Pemerintah Jokowi sudah meluncurkan tiga kartu untuk warga tidak mampu, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKP), yang intinya untuk mengentaskan dan meningkatkan dari kehidupan keluarga pra sejahtera menuju keluarga sejahtera. Namun masih ada masyarakat kelas menengah ke bawah yang terjerat lilitan bank plecit. Menurut KBBI bank plecit adalah sebutan bagi lembaga bukan bank atau perseorangan yang meminjamkan uang,  biasanya dengan bunga tinggi dan penagihannya dilakukan setiap hari.Â
Bank "plecit" ini memberi pinjaman uang bagi yang membutuhkan dengan syarat ringan (tidak ribet) seperti di bank resmi, cair, sehingga menjadi daya tarik bagi yang mempunyai kebutuhan mendesak. Namun dibalik kemudahan dan "rayuan maut", ini terselip niat mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan bunga tinggi yang ditarik setiap hari. Bunga yang ditawarkan bisa mencapai 5 - 10 persen setiap bulan, jauh diatas bank resmi ataupun pegadaian, yang besarnya antara 9,5 persen sampai 18,75 persen per tahun. Â
Bank "plecit", biasanya menyasar orang-orang yang mempunyai kebutuhan mendesak, kepepet, dan tidak mempunyai "agunan/jaminan" berupa sertifikat, BPKB, Surat Keputusan (SK), sebagai "obyek" untuk mencari keuntungan. Atau orang-orang yang mudah "terhipnotis" bujuk rayu para pemilik modal yang sering disebut  rentenir yaitu orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang, tukang riba, pelepas uang, lintah darat.Â
Daerah operasi biasanya di pasar-pasar tradisional, di desa-desa yang jauh dari keramaian, di gang-gang kecil yang padat penduduk dari kelas ekonomi menengah kebawah. Kalau sudah terlilit hutang melalui bank "plecit", biasanya susah untuk melepaskan, karena sebelum lunas sudah ditawari untuk meminjam lagi. Begitu seterusnya, dan bila sering "nunggak", semakin menumpuk serta "debt collector/penagih hutang" tidak segan-segan untuk bertindak keras, kasar, menteror serta "tega" mengambil barang berharga yang dimiliki debitur.Â
Kondisi mencekam, bingung, dikejar-kejar kreditur setiap hari dapat menimbulkan "traumatik" bagi anak-anaknya yang melihat suasana menegangkan dan memilukan. Kalau sudah begi apakah bank "plecit" dapat menyelesaikan masalah ?. Memang dapat menyelesaikan masalah sementara untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan mendadak.Â
Namun, harus segera membayar ketika jatuh tempo, dan jangan coba-coba untuk menunggak walaupun hanya sekali. Ketika menunggak hutang semakin bertambah banyak, karena yang dibayar setiap hari/minggu itu baru bunga, belum pokoknya.Â
Bila sampai menunggak, ada kreditur baru yang menawarkan pinjaman baru untuk membayar kreditur lama. Ada jaringan rapi antara para kreditur untuk terus mencari "korban baru", walau pemerintah sudah melarang praktek rentenir. Apalagi di tingkat desa, saat ini ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang memberi peluang usaha bagi warga desa. Baca Juga: Investasi Bodong Pasti Bohong
Bagaimana upaya menghindarkan dari bank "plecit" ?. Pertama, jangan mudah "tergiur" rayuan gombal pihak kreditur yang sangat "piawi" meruntuhkan pendirian seseorang. Kedua, para tokoh masyarakat dan pemerintah desa sampai tingkat rukun tetangga/RT melawan bank plecit masuk diwilayahnya.Â
Ketiga, pimpinan pasar dan jajarannya membuat koperasi pasar untuk memerangi bank "plecit" yang sering beroperasi di pasar-pasar. Keempat, usahakan menjadi anggota koperasi simpan pinjam, yang kegiatannya dari, oleh dan untuk anggota, serta berkeadilan. Semakin sering pinjam semakin mempunyai Sisa Hasil Usaha/SHU besar, yang dibagikan setiap ada Rapat Anggota Tahunan/RAT.
 Kelima, meminjam di bank/lembaga keuangan resmi pemerintah atau swasta dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keenam, meminjam kepada orangtua, saudara, teman baik asal tetap mempunyai niat untuk mengembalikan, jangan pernah menyepelekan pinjaman dari keluarga, apalagi berniat tidak membayar (kecuali sudah dikhlaskan). Ketujuh, selalu mensyukuri nikmat, karunia, rejeki dari Alloh SWT, sehingga "merasa" dicukupkan dan dilapangkan rejeki untuk memenuhi kebutuhan bukan keinginan.Â
Yogyakarta, 17 Maret 2018 pukul 08.26
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H