Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Profesi Pustakawan di Era Disrupsi 4.0

17 April 2018   00:57 Diperbarui: 17 April 2018   01:57 3875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Bapak Aiun Naim (Sekjen Menristek dan Dikti):”Perpustakaan bukan sekedar tempat membaca buku atau mencari informasi, namun perpustakaan menjadi working space tempat munculnya inovasi-inovasi baru, dan menjadi virtual office”. 

Selanjutnya mengapresiasi perkembangan perpustakaan di perguruan tinggi dan perpustakaan Nasional yang mengikuti perkembangan teknologi, dan mendukung upaya integrasi dan sinergi koleksi perpustakaan antar jaringan, demikian dalam siaran persnya, Kamis 22/3/2018 (https://news.okezone.com).

Namun ada satu hal yang sangat disesalkan dari siaran pers Bpk Ainun Naim adalah perjalanan karier pustakawan dari pustakawan madya ke pustakawan utama ternyata terganjal oleh Surat Edaran (SE) No.102318/A2.3/KP/2017 tentang Penataan administrasi jabatan fungsional di lingkungan Kemenristekdikti yang ditandatangani Kepala Biro SDM, tertanggal 1 Nopember 2017. Hal ini hanya disinggung sedikit, yang intinya tetap mendukung pustakawan utama di Perguruan Tinggi. 

Padahal sesuai point 2 dalam SE disebutkan "Khusus bagi kenaikan pejabat fungsional tingkat ahli madya menjadi pejabat fungsional tingkat ahli utama tidak perlu diusulkan karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No.49 Tahun 2015".

Kalau dirunut Permenristekdikti No.49/2015 tentang Kelas Jabatan di Lingkungan Kemenristekdikti, lampiran III hlm 2 No.40 hanya disebutkan pustakawan madya masuk kelas jabatan 11, persediaan pegawai 133. Anehnya tidak ada nomenklatur pustakawan utama yang diisi 0 andaikan belum ada yang menduduki jabatan itu, untuk mengantisipasi perubahan.

Peraturan ini “dianggap” sebagai suatu “kekeliruan”, kenyataannya telah menimbulkan korban yang tidak hanya memutuskan harapan pustakawan madya ke utama, namun “membunuh profesi pustakawan”. Di Perguruan Tinggi ternama di Indonesia telah jatuh korban pustakawan madya gagal menjadi pustakawan utama akibat kekeliruan dan ketidakpahaman dalam menjalankan amanah dari para pejabatnya.

Tragisnya dengan enteng “diplintir” pustakawan di PTN "X" terlambat mengajukan berkas, sehingga gagal menjadi pustakawan utama. Padahal sejatinya berkas itu tidak dikirimkan oleh Kemenristek dan Dikti ke Sekretariat Negara untuk mendapatkan Surat Keputusan Presiden, sampai masuk batas usia pensiun. Jadi siapa yang terlambat mengirimkan berkas ?. Tanyakan jawabannya "pada rumput yang bergoyang" (syair lagu E Biet G Ade).

Siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian material, moral, tenaga, pikiran, waktu dan cucuran air mata untuk mengumpulkan angka kredit sampai 871,117 ?. Kepada siapa harus mengadu ?. Ke Obusdman, PTUN/PN ?. Akhirnya hanya lapor dan mengadu kepada Alloh SWT, yang Maha Adil dan Bijaksana.

 Yogyakarta, 17 April 2018 pukul 0.59

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun