Menurut Bapak Aiun Naim (Sekjen Menristek dan Dikti):”Perpustakaan bukan sekedar tempat membaca buku atau mencari informasi, namun perpustakaan menjadi working space tempat munculnya inovasi-inovasi baru, dan menjadi virtual office”.
Selanjutnya mengapresiasi perkembangan perpustakaan di perguruan tinggi dan perpustakaan Nasional yang mengikuti perkembangan teknologi, dan mendukung upaya integrasi dan sinergi koleksi perpustakaan antar jaringan, demikian dalam siaran persnya, Kamis 22/3/2018 (https://news.okezone.com).
Namun ada satu hal yang sangat disesalkan dari siaran pers Bpk Ainun Naim adalah perjalanan karier pustakawan dari pustakawan madya ke pustakawan utama ternyata terganjal oleh Surat Edaran (SE) No.102318/A2.3/KP/2017 tentang Penataan administrasi jabatan fungsional di lingkungan Kemenristekdikti yang ditandatangani Kepala Biro SDM, tertanggal 1 Nopember 2017. Hal ini hanya disinggung sedikit, yang intinya tetap mendukung pustakawan utama di Perguruan Tinggi.
Padahal sesuai point 2 dalam SE disebutkan "Khusus bagi kenaikan pejabat fungsional tingkat ahli madya menjadi pejabat fungsional tingkat ahli utama tidak perlu diusulkan karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No.49 Tahun 2015".
Kalau dirunut Permenristekdikti No.49/2015 tentang Kelas Jabatan di Lingkungan Kemenristekdikti, lampiran III hlm 2 No.40 hanya disebutkan pustakawan madya masuk kelas jabatan 11, persediaan pegawai 133. Anehnya tidak ada nomenklatur pustakawan utama yang diisi 0 andaikan belum ada yang menduduki jabatan itu, untuk mengantisipasi perubahan.
Peraturan ini “dianggap” sebagai suatu “kekeliruan”, kenyataannya telah menimbulkan korban yang tidak hanya memutuskan harapan pustakawan madya ke utama, namun “membunuh profesi pustakawan”. Di Perguruan Tinggi ternama di Indonesia telah jatuh korban pustakawan madya gagal menjadi pustakawan utama akibat kekeliruan dan ketidakpahaman dalam menjalankan amanah dari para pejabatnya.
Tragisnya dengan enteng “diplintir” pustakawan di PTN "X" terlambat mengajukan berkas, sehingga gagal menjadi pustakawan utama. Padahal sejatinya berkas itu tidak dikirimkan oleh Kemenristek dan Dikti ke Sekretariat Negara untuk mendapatkan Surat Keputusan Presiden, sampai masuk batas usia pensiun. Jadi siapa yang terlambat mengirimkan berkas ?. Tanyakan jawabannya "pada rumput yang bergoyang" (syair lagu E Biet G Ade).
Siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian material, moral, tenaga, pikiran, waktu dan cucuran air mata untuk mengumpulkan angka kredit sampai 871,117 ?. Kepada siapa harus mengadu ?. Ke Obusdman, PTUN/PN ?. Akhirnya hanya lapor dan mengadu kepada Alloh SWT, yang Maha Adil dan Bijaksana.
Yogyakarta, 17 April 2018 pukul 0.59
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H