Kita sering mendengar setelah hajatan, utang pernikahan menumpuk, orang tua stres karena hasil undangan tidak dapat menutup utang pernikahan.Â
Namun, selama saya tinggal di kampung, belum pernah terdengar warga pusing memikirkan utang pernikahan. Dengan adanya buwuh, tamu membawa bahan makanan mentah sangat membantu, meski saat dijual harganya rendah.Â
Buwuh selain menjaga kerukunan juga identik dengan utang piutang. Contohnya ketika hajatan, utusan atau laden akan mencatat barang bawaan tamu. Suatu saat jika tamu itu hajatan, barang buwuhan akan dikembalikan dengan jumlah yang sama. Begitu pun dengan uang.Â
Jika tidak dikembalikan atau buwuh balik, ada perasaan sungkan. Aturan ini tidak tertulis, tetapi sudah umum dilaksanakan warga.Â
Barang buwuhan dijual ke mana?Â
Kerukunan di kampung sangat kuat, ketika ada yang hajatan dan tarian, warga khususnya kaum perempuan buwuh dengan bahan makanan. Sementara bapak-bapak memberi uang di amplop.
Tidak  sedikit si punya hajat mendapatkan beras, gula, mie, minyak goreng, kelapa. Barang-barang itu setelah acara selesai H+3) bisa digunakan membayar utang pernikahan.Â
Tidak sembarang jual hasil buwuhan. Barang itu harus dijual kepada toko yang memberi pinjaman hajatan. Di dusun kami ada toko yang membantu memenuhi segala keperluan pernikahan, seperti beras, gula, mie, daging, bumbu, sayuran dan lain sebagainya. Kita cukup bayar uang muka sekitar Rp1 juta-Rp3 juta.
Setelah hajatan selesai, barang hasil buwuhan dijul ke toko tersebut. Harganya tentunya di bawah ketika membeli. Toko tersebut nantinya akan menjual kembali barang-barang tersebut kepada yang akan hajatan atau umum.Â
Akhir Kata
Tradisi buwuh di kampung meski identik dengan utang piutang, tetapi tujuannya bagus. Selain menjaga kerukunan juga meringankan biaya pernikahan.Â