"Nggih."
Setelah ada jawaban nggih, dia berlalu dan datang ke rumah sebelah kita. Teriak lagi memanggil si punya rumah, pergi lagi, teriak lagi. Terus sampai 7 RT (satu dusun). Jika tidak ada jawaban dari dalam rumah, dia akan kembali.Â
Atur-atur seperti ini sudah lumrah. Sekarang tukang atur-atur dusun telah meninggal dan diganti oleh warga yang biasa diminta tolong. Ganti orang atur-atur, ganti pula kebiasaan. Tukang atur-atur sekarang, masuk rumah dan duduk dulu. Kadang ngajak ngobrol hingga berjam-jam.Â
Tradisi Buwuhan
Jika sudah resmi ada orang atur-atur itu artinya kita harus buwuh. Jika ada warga yang hajatan tidak atur-atur, tidak juga terima buwuh, warga tidak perlu datang walaupun kenal.Â
Apa itu buwuh?
Buwuh merupakan tradisi memberi hadiah atau sumbangan kepada orang yang melaksanakan hajatan baik pernikahan, khitanan atau kelahiran bayi.Â
Tradisi ini sudah ada sejak lama dan masih dilestarikan di kampung saya. Buwuh sering juga disebut jagong, nyumbang, tarian mbecek. Buwuh berupa bahan makanan pokok seperti beras, mie, gula, minyak goreng.
Jumlah bahan makanan untuk buwuh tidak sama, bisa 2 atau 3 macam, tetapi beras harus ada. Pada umumnya beras 2-3 kilogram ditambah mie 1 pack yang harga Rp5.000-Rp6.500. Bisa juga beras dan gula pasir 1 kilogram atau minyak goreng.Â
Jika kerabat, biasanya barang bawaan buwuh lebih banyak, minimal beras 5 kilogram, gula pasir 5 kilogram. Buwuh kepada saudara kandung bisa lebih banyak lagi, bisa mencapai beras 1 karung (25 kg) dan  bahan makanan lain.
Tradisi Buwuh antara Kerukunan dan Utang Piutang
Tradisi buwuh bukan sekadar memberi hadiah, tetapi banyak manfaatnya, seperti mempererat silaturahmi, kerukunan antar masyarakat. Juga meringankan biaya hajatan karena kita tahu hajatan memakan biaya banyak.
Hajatan pada umumnya tidak ada yang untung. Kita sering mendengar untungnya hajatan pernikahan adalah dapat mantu. Akan tetapi dengan pesta pernikahan jangan sampai meninggalkan utang yang banyak.Â