Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Doom Spending Mengganggu Kesehatan Finansial, Cara Saya Mengatasinya

6 Oktober 2024   05:02 Diperbarui: 6 Oktober 2024   07:05 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengatasi Doom Spending. Foto dari Kompas.com

Bermukim di kampung gerik-gerik kita tak lepas dari pandangan, omongan tetangga. Mereka serba tahu dan ingin tahu. Misalnya ketika salah seorang teman menceritakan gaya hidup tetangganya. Teman tersebut tahu  barang mewah milik tetangganya hasil utang. 

"Setiap anggota keluarga dibelikan motor, mobilnya baru, tapi utang. Setiap hari ada orang nagih."

Saya pun jadi teringat omongan tetangga dulu yamg pernah terdengar.

"Saben metu, mulih gowo belanjaan, arep kuat sampai kapan." 

Kalimat tersebut bernada negatif. Jika diartikan kurang lebih seperti ini. Setiap hari belanja terus, mau kuat sampai kapan. 

Pada umumnya, masyarakat akan belanja terus jika punya uang, pada waktu tertentu akan stop karena utang menumpuk. Jika menyadari kesalahannya gaya hidup pun berubah drastis jadi minimalis. 

Saya ingin membahasnya sebagai pembelajaran terutama Gen Z yang sedang mengalami doom spending. 

Doom Spending

Akhir-akhir ini doom spending.menjadi perbincangan banyak orang. Kompasiana pun mengambil tema tersebut dalam topik pilihan. 

Doom Spending.menurut psikolog, Riza Wahyuni kepada DetikJatim
merupakan pola konsumtif berlebihan. Individu tersebut sulit menahan keinginannya untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, sekalipun tidak punya uang. Perilaku tersebut sebagai respon kecemasan terhadap kondisi keuangan.

Fenomena ini sudah ada sejak dulu, umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Sekarang  gen Z lebih rentan berperilaku doom spending. Faktor pemicunya menurut Riza adalah gaya hidup dan psikologis.. 

Dengan banyaknya kemudahan berbelanja dan pinjaman online generasi muda tidak dapat mengendalikan keinginannya. Mereka berbelanja tanpa memikirkan banyaknya penghasilan dan dampak jangka panjang jika berutang. Mereka memenuhi keinginan berdasarkan hawa nafsu dan gengsi. 

Doom Spending salah satu kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan finansial kita. 

Sebagian orang mungkin berpikir finansial sehat jika bisa terbeli apapun dan menunjukkannya di media sosial. Melansir dari OJK keuangan kita sehat jika memilki aset lancar tiga kali dari jumlah pengeluaran. 

Setiap individu tentu berbeda kondisi keuangannya. Bagaimana pun kondisinya jika terjebak doom spending akan menganggu kondisi  finansial, terlebih jika tidak memiliki perencanaan keuangan masa depan. 

Dengan kesadaran tersebut, tentunya saya atau teman-teman tidak ingin terjebak pada fenomena doom spending. 

Apa yang saya lakukan untuk mencegah perilaku doom spending?

Yang terlihat tetangga kalau saya sering belanja sebagian ada benarnya. Saya pun menginginkan hadiah untuk diri sendiri atau self reward. 

Self reward penting sebagai penghargaan pada diri sendiri, tetapi tetap ada batasan. Saya bukan generasi Z, pastinya setiap pengeluaran ada perencanaan  matang. Tak sedikit generasi X, Y, Z yang terganggu keuangannya gara-gara doom spending. 

Untuk menjaga kesehatan keuangan, sebelum berbelanja saya akan memikirkan manfaat barang incaran dan budget.

Meski dana mencukupi tetapi manfaatnya kurang, saya akan menahan keinginan. Misalnya akhir-akhir ini saya ingin membeli treadmill, setelah cek keuangan masih ada tabungan lebih, tetapi jika masih bisa olahraga jalan kaki di lapangan kenapa harus membeli treadmill?  Lebih baih dana diinvestasikan ke SBN. 

Atau misalkan saya mendapat K-rewards dari Kompasiana sebesar Rp24.000. kenapa harus makan  di Yodhinoya? Dengan pemasukan segitu, jajan baso di kaki lima sudah cukup.  Pada intinya gaya hidup kita semampunya. Tidak perlu ingin nampak kaya sehingga di ada-ada. 

Penting saya selalu mengingat jangan punya utang baik ke bank,  pribadi, distributor atau siapa saja. Pernah saya diberi kartu kredit dengan limit Rp100 juta, kartu itu hingga 2 tahun tidak digunakan sampai saya kembalikan lagi ke bank. 

Ketika terjerat utang saya merasakan sulit untuk bebas. Padahal utang bukan untuk belanja arau bergaya doom spending, tetapi demi pendidikan adik-adik. Setelah mereka lulus, saya bertekad untuk tidak berutang sekecil apapun. 

Langkah kecil ini semoga bermanfaat dan mampu terhindar dari doom spending. 

Bahan bacaan

https://www.detik.com/jatim/berita/d-7565784/kata-pakar-soal-fenomena-doom-spending-yang-lagi-ngetren-di-anak-muda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun