"Yok, Yok, Pakmu teko, ngenteni neng ruang guru, buruan parani," teriak temanku, Suryo.
"Hah? Bapak enek opo neng sekolahan yo, Sur?" tanyaku penuh tanda tanya.
Suryo hanya melebarkan kedua tangannya, sementara dari arah belakangku terdengar Firdaus mengeluarkan kata-kata penuh penghinaan.
"Hey anak deso, bapakmu ngirim belut tuuh, jangan pura-pura tidak tahu."
Yang lian tertawa senang mendengar lelucon Firdaus. Tanpa menoleh ke arah Firdaus, aku berlalu menuju ruang guru, mumpung jam istirahat belum habis. Dia kalau dilayani semakin menjadi menghina.Â
Dalam hati kesal juga kepada Firdaus yang tak henti memanggilku anak deso, walaupun benar adanya, aku berasal dari kampung. Namun, terasa menyakitkan jika diucapkan oleh si Anak kaya  yang sombong itu.
"Anak kampung ke kantin, apa punya duit? Jual gabah dulu baru dia bisa jajan."
"Sekolah ini khusus anak-anak kota, ngapain anak kampung berada di sini, bikin kotor saja."
Itulah hinaan yang sering aku dengar sejak masuk di kelas sepuluh satu. Awal-awal aku muak direndahkan anak itu, hingga ingin memukulnya. Namun, petuah dari Bapak menghalangiku berbuat jahatÂ
"Sekolah itu milik anak-anak yang mau pintar."
Lamunanku buyar ketika sentuhan halus mendarat di pundakku.
"Yok, masuklah, bapaknya di dalam menunggu kamu!" ujar Bu Kasih sang guru Matematika.
Aku pun tak ragu melanjutkan langkah menuju Bapak yang sedang duduk di sofa ruang guru.
"Enten nopo, Pak? Ko tindak ten sekolahan, mengke sonten Yoyok kan mulih?" tanyaku sambil mencium punggung tangannya.
"Yok, tadi bapak ke toko jam tangan, iki loh apik kanggo koe, Nak. Umurmu arep pitulas taun, bapak ora sabar pingin kasih kado," kata Bapak sambil mengeluarkan kotak kecil.
"Pak, kan masih sebulan, ko beli sekarang?"
"Ora opo-opo, mumpung enek duite karo bapak masih sehat. Sasih ngarep urung karuan iso tuku," ujar Bapak lagi.
Aku mengangguk sambil menerima bungkusan jam tangan itu. Bapak bukan tipe orang tua yang romantis. Memberi kado dengan dibungkus dan kata-kata indah seperti di sinetron.
Namun, aku tahu Bapak sangat lembut penuh kasih sayang. Cara dia menunjukkannya bisa aku pahami.
"Ayo metu, ora penak suwi-suwi neng kenek!" lanjut Bapak sambil berdiri dan pamit pada guru yang ada di ruangan.
"Pak, matur suwun nggih." Sekali lagi aku mencium punggung tangan Bapak yang kokoh dan hitam pekat. Tangan itu yang telah membuat aku berada di sekolah terbaik di pusat Kota Madiun.
Aku menatap punggung Bapak yang dibawa oleh sepeda kumbangnya hingga tak terlihat lagi.
Aku mengalihkan pandangan ke jam tangan yang dibeli Bapak dari hasil jual padi.Â
Merek Casio JC-10, dari desainnya memang cocok untuk orang sepertiku yang sering lari. Kata Bapak jam tangan ini pilihan penjaga tokonya. Bapak hanya bilang anaknya cowok, suka olahraga. Harganya berapa, Bapak tak mau menjawab. Katanya murah, tenang wae.
Aku tahu ini harganya mahal, tidak seperti biasanya Bapak memberi kado semahal ini. Biasanya kami hanya makan nasi kuning buatan Emak di dapur. Sebelumnya Bapak berdoa memohon keberkahan atas anaknya.Â
Aku pun kembali ke kelas, tentunya dengan menyembunyikan bungkusan itu di balik saku celana.
Suryo yang memberitahu kalau ada Bapak di ruang guru mencolek lenganku.
"Pakmu kasih apa, Yok?" tanyanya.
Aku tersenyum, tak berani memberi tahu jam tangan dari Bapak, karena guru pelajaran Bahasa Indonesia telah berada di kursinya.
***
Beberapa pelajaran telah selesai. Pukul 12.00 tepat bel istirahat kembali berbunyi. Banyak siswa yang menuju ke kantin, tetapi aku lebih memilih salat dzuhur, karena perjalanan pulang ke rumah sekitar 45 menit bersepeda.
Ketika memakai kembali sepatu selepas salat, tiba-tiba seseorang memegang lengan.
"Jangan banyak tanya, kenapa Paklik berada di sini. Ayo ikut Paklik!"
Oh ternyata adik Bapak yang memegang tanganku.
"Tunggu satu pelajaran lagi, Paklik," jawabku.
"Tidak usah, Paklik wes minta izin gurumu. Buruan ikut ke rumah sakit, bapakmu, Le."
"Bapak kenapa, Paklik? Tadi pagi dari sini."
Paklik tidak menjawab, dia hanya sibuk menarik tanganku menuju ke arah parkir motor.
"Sepeda pancalku gimana, Paklik?"
"Buku, tas, sepeda ben digowo Suryo," ujarnya.
Tanpa ba bi bu lagi, aku segera menaiki motor tua itu. Paklik segera menancap gas tanpa banyak bicara. Pikiranku mulai berkecamuk memikirkan kondisi Bapak. Namun, tidak berani bertanya.
"Jangan masuk, Nak, Pak," kata seorang perawat menahan kami di pintu kamar pasien.
"Ini anaknya, bapaknya di dalam kena serangan jantung tadi," bentak Paklik.
"Tapi mohon maaf, Pak. Bapak yang ada di kamar ini sudah pindah ke kamar jenazah, kamarnya sedang dibersihkan."
Mendengar ucapan perawat, itu artinya Bapak telah meninggal. Aku pun tak dapat menahan tubuh ini lagi. Paklik memegang badanku yang mulai lemas.
"Sabar, Yok. Ini pasti salah. Tunggu emakmu ya."
Aku tak ingat lagi apa yang terjadi di rumah sakit. Tiba-tiba suasana rumah ramai sekali. Emak berada di samping tempat tidur. Matanya merah. Suara tahlil terdengar semakin jelas.Â
***
"Dokter Yoyok, pasien sudah menunggu," ujar perawat mengagetkan lamunanku.
Jam tangan, 28 tahun lalu dari Bapak masih tersimpan rapi di tempatnya dan menemaniku di ruang kerja.
#pulpen,Â
#sayembarapulpen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H