Lamunanku buyar ketika sentuhan halus mendarat di pundakku.
"Yok, masuklah, bapaknya di dalam menunggu kamu!" ujar Bu Kasih sang guru Matematika.
Aku pun tak ragu melanjutkan langkah menuju Bapak yang sedang duduk di sofa ruang guru.
"Enten nopo, Pak? Ko tindak ten sekolahan, mengke sonten Yoyok kan mulih?" tanyaku sambil mencium punggung tangannya.
"Yok, tadi bapak ke toko jam tangan, iki loh apik kanggo koe, Nak. Umurmu arep pitulas taun, bapak ora sabar pingin kasih kado," kata Bapak sambil mengeluarkan kotak kecil.
"Pak, kan masih sebulan, ko beli sekarang?"
"Ora opo-opo, mumpung enek duite karo bapak masih sehat. Sasih ngarep urung karuan iso tuku," ujar Bapak lagi.
Aku mengangguk sambil menerima bungkusan jam tangan itu. Bapak bukan tipe orang tua yang romantis. Memberi kado dengan dibungkus dan kata-kata indah seperti di sinetron.
Namun, aku tahu Bapak sangat lembut penuh kasih sayang. Cara dia menunjukkannya bisa aku pahami.
"Ayo metu, ora penak suwi-suwi neng kenek!" lanjut Bapak sambil berdiri dan pamit pada guru yang ada di ruangan.
"Pak, matur suwun nggih." Sekali lagi aku mencium punggung tangan Bapak yang kokoh dan hitam pekat. Tangan itu yang telah membuat aku berada di sekolah terbaik di pusat Kota Madiun.