Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warung di Kampung Berjasa bagi Petani

1 Oktober 2023   19:37 Diperbarui: 2 Oktober 2023   03:22 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung kopi terbuat dari kayu di kampung berjasa bagi petani. Foto dokpri

Bangunan kecil hanya berukuran 3 meter kali 2 meter. Bangunan tersebut ada yang terbuat dari kayu dengan atap seng, ada pula yang permanen dengan bata, semen beratap genteng. 

Bangunan itu namanya warung. Di Kampung warung tidak memiliki nama.  Warga sering menyebut dari pemilik sekaligus penjaga warungnya. Misalnya warung Mbak Mar, warung Mbah Iyah dan sebagainya.

Ada dua jenis warung yang saya ketahui, warung kopi dan warung sayuran. Warung sayuran ini sebenarnya toko kelontong, toko serba ada. Saya lebih suka menyebut warung karena ada juga makanan siap makan, sayuran mentah. Mereka menggabungkan usaha sentra produksi dan sentra konsumsi. 

Jasa Warung di kampung bagi Petani

Masyarakat di kampung mayoritas sebagai buruh tani dan petani. Penghasilan mereka tentunya tidak tetap seperti pegawai negeri atau swasta.

Ketika musim tanam, buruh tani dapat pemasukan, jika selesai di sawah, sebagian kerja serabutan, lainnya menunggu masa panen. Masa tunggu itu kurang lebih dua bulan, artinya selama itu mereka tidak memiliki pemasukan harian.  
Warung menjadi pahlawan di masa nganggur. 

Warung Pak Ran di pinggir sawah. Foto dokpri
Warung Pak Ran di pinggir sawah. Foto dokpri

 1.  Warung kopi
Warung kopi 
selain berada di dalam kampung juga ada di pinggir jalan dekat sawah. Bangunannya tidak permanen, karena ada larangan membangun bangunan di area sawah barat jalan dan kroco'an. Kalau di etan ratan, sawah boleh dijadikan rumah atau warung dari bata layaknya rumah kecil.

Warung kopi, sesuai namanya menyediakan kopi hitam, kopi instan, aneka gorengan dan aneka es. Jika musim sawah, saya pun sering membeli gorengan untuk kirim ke sawah. 

Jika musim tanam atau musim panen selesai, warung tersebut menjadi tempat ngumpul para petani atau buruh. Mereka ngopi, jajan sambil tukar pikiran perkara tanaman, hama dan lain sebagainya. 

Di balik keseruan para petani gojegan (bercanda) sambil ngopi, sebenarnya mereka tidak setiap ke warung bawa uang. Ada saja dari mereka yang catat dulu, bon dulu. Utang kecil biasanya tidak ada catatan bon. Bapak mertua pernah bilang, biasanya mereka bon tidak lama, maksimal satu pekan sudah bayar.
Namun, ada juga yang bayarnya setelah panen, hal itu tergantung dari orangnya.

Warung nasi di desa. Foto dokpri
Warung nasi di desa. Foto dokpri

2. Warung nasi dan toko kelontong
Warung nasi di kampung saya adalah warung nasi pecel dan nasi lainnya. Buka mulai pukul 05.00 WIB sampai makanan itu habis.
Pemilik warung akan membandrol satu piring nasi pecel bervariasi mulai dari Rp4.000 hingga Rp6.000 dengan lauk tempe goreng dan penyek.

Dengan harga semurah itu, keberadaan warung sangat berjasa bagi warga terlebih seorang buruh tani yang gajinya tidak menentu. Beli nasi di warung ini tentunya bayar langsung, tidak ada bon. Kalau pagi, musim anak sekolah cukup ramai pembeli.

Satu lagi warung yang berjasa bagi buruh tani di kampung menurut saya adalah warung kelontong. Saya katakan warung kelontong karena selain menyediakan bahan makanan untuk diolah juga ada sayuran siap makan. Sayuran tersebut adalah titipan dari salah seorang warga.

Kenapa bisa dikatakan berjasa? Yuup tentunya kembali kepada penghasilan petani atau buruh tani yang minim dan musiman. Warung kelontong ini menerim pembayaran dengan beras atau utang. Mereka membayar utang yang setiap panen padi, 4 bulan sekali.
Bahkan jika pembeli atau warga yang tanahnya ditanami tebu, dia bayar ke warung tahunan, karena tebu panennya satu tahun sekali.

Bisa kita bayangkan setiap hari warung kelontong harus belanja ke pasar dengan kontan, setelah tiba di lapak banyak yang catat dulu.
Uniknya, warga tidak berani utang di pagi hari. Minimal bawa beras untuk ditukar dengan bahan sayuran atau sayur mateng. Jika ingin utang minimal di atas pukul 08.00 WIB.

Pemilik warung kelontong harus punya modal berlipat ganda untuk belanja setiap hari. Saat warga bayar utang, mereka harus bisa menabung untuk kelangsungan usahanya.

Namun, menurut ipar saya yang buka warung kelontong, setiap harinya ada pemasukan untuk belanja. Jika uang yang didapat hari itu tidak cukup untuk belanja dini hari, baru ambil tabungan.

Semoga warung-warung usahanya lancar agar memberi manfaat kepada warga.

Terima kasih telah singgah, salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun