Bulan Agustus sudah di penghujung, warga masih semangat rayakan hari ulang tahun kemerdekaan negeri tercinta ini. Berbagai kegiatan dilaksanakan, mulai dari lomba, doa, olahraga, hiburan dan masih banyak lagi.
Seperti di kampung tempat tinggal saya. Malam Minggu menjadi momen yang tepat untuk mengadakan panggung gembira. Panitia mendatangkan artis daerah yang ayu-ayu, pemain alat musik ganteng-ganteng. Kami memanggilnya musik campursari.
Saya sangat mengapresiasi kegiatan tersebut, tetapi tidak bisa menghadiri sampai selesai. Pukul 20.00 WIB sudah pamit pulang kepada kerabat yang duduk disebelah kanan. Lagi pula tamu mulai berdatangan, kursi yang tersedia sedikit. Kerabat pun ikut berdiri dan pindah tempat ke teras rumah dekat panggung.
Pagelaran Musik Campursari
Siapa yang tak kenal dengan campursari? Ini salah satu musik yang disukai banyak orang, terutama kaum adam.Â
Nama campursari diambil dari bahasa Jawa, sementara istilahnya mengacu pada campuran beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Begitu pun dengan alat musiknya.
Alat musik yang digunakan adalah modifikasi alat-alat musik gamelan yang dapat dikombinasikan dengan instrumen barat atau sebaliknya. Musik campursari sering digelar pada acara pernikahan atau acara lainnya yang mengundang orang banyak.
Kekurangan nanggap campursari adalah konon sering dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab untuk minum-minuman keras. Itu sebabnya saya tidak suka nonton campursari hingga malam walaupun dekat rumah.Â
Ide bagus, perayaan HUT RI mendatangkan musik campursari. Ini sebagai upaya melestarikan kesenian, juga menambah pemasukan para musisi daerah. Selama pandemi, mereka tidak ada yang manggil, otomatis memengaruhi keuangan keluarganya.
Namun, saya memperhatikan makin ke sini, setiap perayaan Agustusan, kreativitas anak-anak kurang. Panggung diisi nyanyian campursari dan banyolan pemandu. Hanya ada 3 kelompok anak dan remaja yang tampil di awal acara.
Bapak, Ibu era 90-an mungkin masih ingat, ketika puncak acara  HUT RI di kampung atau perumahan sering diadakan panggung hiburan. Warga, mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu unjuk kebolehannya, mulai dari nyanyi, tari, drama, baca puisi dan lain sebagainya. Panggung itu milik warga setempat.
Saya masih ingat, bapak dulu sering melatih anak-anak untuk tampil di acara Agustusan. Anak-anak ada yang membaca puisi, main drama, sementara ibu-ibu nyanyi kosidah. Lagu andalan adalah "Perdamaian".Â
Kalau tidak salah penggalan liriknya seperti ini, Perdamaian perdamaian
Perdamaian perdamaian
Perdamaian perdamaian
Perdamaian perdamaian
Banyak yang cinta damai
Tapi perang makin ramai
Banyak yang cinta damai
Tapi perang makin ramai
Bingung bingung ku memikirnya
Bagaimana dengan panggung hiburan dalam rangka semarak HUT RI ke-78?
Panggung hiburan saat ini benar-benar menghibur masyarakat. Warga duduk manis menikmati pagelaran seni. Para orang tua jarang mengajak anaknya dengan alasan terlalu malam selesainya atau pagelaran itu tidak cocok untuk anak-anak.Â
Menurut hemat saya, perayaan HUT RI  dengan menanggap campursari atau wayang hanya bisa dinikmati orang tua. Kurang ramah anak dan menurunkan kreativitas mereka. Padahal event ini waktu yang tepat untuk mengeksplor kemampuan anak, remaja bahkan warga setempat.
Penting bagi kita untuk mendorongnya bereksplorasi dalam mengembangkan kemampuan, kepercayaan diri, dan berkolaborasi dengan teman-temannya.
Ada banyak sebab kenapa sekarang anak-anak tidak tampil di acara Agustusan. Salah satunya bisa jadi mereka enggan tampil, kurang sentuhan dari pemerintah atau orang tua.Â
Pada acara semarak HUT RI ke-78 di kampung, ada 3 kelompok yang tampil. Kelompok putra bermain reog, dua anak putri menari. Sebelumnya tampil anak dan remaja dari gereja setempat. Mereka menampilkan drama pendek kemerdekaan, gerak dan lagu daerah, nusantara.
Penampilan ketiga kelompok anak dan remaja tersebut hanya sampai pukul 20.00 WIB. Selebihnya acara diisi campursari.Â
Anak-anak lain yang punya bakat seni, tidak tampak di kampung, tetapi berkibar di sekolah, di lingkungan Pemkab, Pemkot. Kenapa tidak ditampilkan di desa agar warga ikut menikmati dan mengapresiasi.Â
Untuk bisa berkontribusi pada kegiatan desa, perlu sentuhan dari pemegang wewenang. Pun menyiapkan fasilitas untuk latihan.
Mari kita dorong anak-anak untuk kreatif dan produktif bukan saja pada acara semarak HUT RI.
Terima kasih telah singgah, salam hangat selalu.
Â
Bahan bacaan  1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H