Orang tua saya di Majalengka bukan tinggal di kampung, tetapi hutan perbukitan yang dibabat menjadi perumahan. Pada tahun 1997 kami sudah menempati rumah tersebut. Belum banyak tetangga, bahkan satu jalan hanya ada 2 kepala keluarga, sisanya mungkin dihuni oleh makhluk lain. Â
Tahun 1997-2000 perumahan itu sama seperti hutan gundul, jika siang panas, kalau malam dingin, gelap, sepi.Â
Jika malam banyak suara yang dikenal, tetapi menyeramkan. Suara anak ayam, suara anjing, suara ulekan seperti sedang ngulek sambel meramaikan suasana sekitar rumah.
Seiring perjalanan waktu, perumahan itu menjadi ramai, suara adzan di mana-mana, suara ngaji semakin padat, suara aneh mulai tak terdengar.Â
Tahun 2023 saya meninggalkan perumahan tersebut. Ketika mudik lebaran, saya tak pernah memberitahu pukul berapa akan tiba. Keluarga hanya tahu setiap H+2 lebaran, saya baru bisa mudik. Pukul berapa tiba, setiap tahunnya berbeda-beda.
Hal ini saya lakukan karena ingin melihat ekspresi Mimi dan Abah menyambut cucu-cucunya.
Ketika anak-anak turun dari mobil dan teriak mengucapkan salam. Mimi sama Abah akan keluar, dengan wajah gembira memeluk mereka.
Itulah yang saya rindukan dari kampung halaman. Tentunya bukan ekspresi Abah dan Mimi saja., Masih banyak yang saya rindukan dari kampung, di antaranya:
1. Â Kebersamaan dengan keluarga
Suara-suara menyeramkan tidak pernah saya rindukan. Saya hanya merindukan bagaimana saya, adik-adik, kakak ngobrol hingga tengah malam, hingga terdengar suara ulekan dan bau masakan.