Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akankah Pamer Kekayaan Mengikis Budaya Ketimuran?

16 Maret 2023   14:37 Diperbarui: 16 Maret 2023   14:50 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya larangan ASN pamer kekayaan di media sosial, saya jadi teringat obrolan dengan teman beberapa bulan yang lalu terkait postingannya di Facebook

"Kak, sudah baca postinganku yang baru? Aku kan buat postingan, jangan pamer sertifikat, kejuaraan, kekayaan. Itu sama saja menyepelekan orang lain. Merasa diri bisa sementara orang lain tidak," kata teman saya.

Dia pun menceritakan, opininya banyak mendapat beragam tanggapan. Ada yang setuju ada pula yang menganggap iri. 

Saat itu saya tidak dapat komentar lebih banyak karena saya pun menyadari pernah pamer sertifikat. Akan tetapi tidak berniat merendahkan teman.

"Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk tidak pamer keberhasilan. Mungkin maksudnya bukan menyepelekan. Kita tidak tahu kan?"

Flexing atau Pamer 

Flexing atau pamer telah menjamur di media sosial. Fenomena orang memamerkan kekayaan, keberhasilan, bukan saja dilakukan oleh orang yang super kaya betulan atau hanya demi konten saja. 

Kita tidak tahu tujuan orang pamer. Apakah mereka bermaksud menyepelekan, menganggap orang lain tidak mampu atau sekadar promosi barang.

Faktanya, orang yang melakukan pamer memang ada alasan. Pada umumnya ingin menunjukkan pencapaiannya, menarik lawan jenis dan pengakuan atas status sosialnya.

Asal Mula Flexing atau Pamer Kekayaan

Pamer sudah ada berabad-abad lamanya. Melansir dari laman kemenkeu, fenomena flexing muncul pada tahun 1899. Thorstein Veblen seorang ahli ekonomi dan sosiolog Amerika mengungkapkan, pada masa itu benda digunakan untuk menunjukkan status sosial.

Thorstein Veblen mengamati bahwa sendok perak dan korset adalah simbol status sosial di masyarakat. Orang super kaya memamerkan barang tersebut melalui pesta bangsawan.

Kita pun tentu masih ingat, bagaimana orang tua zaman dulu memamerkan kekayaannya. Sebelum ada media sosial, orang kaya sering memamerkan kekayaannya berupa emas. Saat ke undangan, arisan atau ke pasar, tubuhnya dipenuhi oleh emas.

Saya masih ingat ketika tahun 90-an berkunjung ke rumah uwak (kakak dari bapak). Uwak telah siap-siap arisan ke kantor suaminya.

Setelah ngobrol beberapa lama dengan orang tua saya, datang tamu membawa kotak perhiasan. Ceritanya setiap arisan, ke undangan uwak sewa seperangkat perhiasan, mulai dari anting, kalung, gelang, cincin.

Agar diterima di lingkungan ibu-ibu arisan uwak glamor, padahal kenyataannya tidak punya uang. Kasihan keluarganya kalau uwak jadi candu. Sikap dia pun bisa memicu suaminya untuk korupsi.

Tidak jauh dengan uwak, di desa tempat tinggal saya pun demikian. Jika musim hajatan, banyak warga yang rewang memakai perhiasan. Belum lagi saat acara hajatan, ibu-ibu memakai perhiasan yang terbaik, mulai dari kalung panjang hingga perhiasan sebesar tambang.

Ada kejadian yang membuat ipar kapok. Ketika memasak di tempat hajatan, dia memakai kalung besar. Padahal hari-harinya tidak memakai perhiasan. Kalung itu jatuh entah di mana

Saya katakan kalau emas itu simpan untuk aset di hari tua bukan dipamerkan. Kalau hilang seperti ini malah rugi. Bayaran masak selama dua hari saja belum tentu bisa mengganti emas yang hilang.

Sejak saat itu, jika akan ke undangan atau masak di tepat hajatan, ipar tidak memakai emas. Entah tidak punya emas atau takut hilang lagi. Pastinya setiap dapat panenan, uangnya dititipkan ke saya agar aman dan tidak berkurang. Hehe.

Bagaimana menyikapi orang yang flexing?

Seperti yang saya katakan kepada teman, kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk tidak pamer apapun di media sosial atau dunia nyata. 

Ketika mereka melakukannya, tanggapi saja santai. Jadikan motivasi untuk lebih giat belajar, bekerja, walaupun ada sedikit nyesek. 

Rezeki setiap orang berbeda. Kita terapkan konsep syukur. Syukur dengan apa yang telah kita dapatkan.

Pengalaman saya dengan teman yang suka pamer kekayaan

Pada tahun 2013 saya dan suami pergi ke Jakarta untuk pameran lukisan. Istri dari teman suami mengatakan kalau telah membeli mobil baru dengan harga miliaran. 

Saya senang mendengarnya dan mengatakan, “Alhamdulillah, saya bisa nebeng donk ke stasiun pakai mobil mewah itu?”

“Makanya lebih lama di Jakarta, nanti saya ajak jalan-jalan keliling Jakarta,” kata istri teman suami.

Kenyataannya saya tidak berani merepotkan dia untuk mengantar ke stasiun Gambir dengan mobil mewahnya apalagi jalan-jalan.

Penutup

Dengan perkembangan teknologi, flexing semakin mudah dilakukan bukan oleh orang super kaya saja. Barang yang dipamerkannya pun beragam. 

Pamer kekayaan akan berdampak negatif. Pelakunya akan menjadi sombong, kurang empati dan merasa diri lebih. 

Budaya pamer kekayaan sebenarnya bukan budaya orang Indonesia. Jangan sampai karena ingin diakui kaya menggerus budaya ketimuran. 

Tidak ada larangan orang untuk kaya atau menikmati kekayaan, tetapi kita bisa melakukannya dengan etika.

Semoga bermanfaat. Terima kasih telah singgah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun