Kita pun tentu masih ingat, bagaimana orang tua zaman dulu memamerkan kekayaannya. Sebelum ada media sosial, orang kaya sering memamerkan kekayaannya berupa emas. Saat ke undangan, arisan atau ke pasar, tubuhnya dipenuhi oleh emas.
Saya masih ingat ketika tahun 90-an berkunjung ke rumah uwak (kakak dari bapak). Uwak telah siap-siap arisan ke kantor suaminya.
Setelah ngobrol beberapa lama dengan orang tua saya, datang tamu membawa kotak perhiasan. Ceritanya setiap arisan, ke undangan uwak sewa seperangkat perhiasan, mulai dari anting, kalung, gelang, cincin.
Agar diterima di lingkungan ibu-ibu arisan uwak glamor, padahal kenyataannya tidak punya uang. Kasihan keluarganya kalau uwak jadi candu. Sikap dia pun bisa memicu suaminya untuk korupsi.
Tidak jauh dengan uwak, di desa tempat tinggal saya pun demikian. Jika musim hajatan, banyak warga yang rewang memakai perhiasan. Belum lagi saat acara hajatan, ibu-ibu memakai perhiasan yang terbaik, mulai dari kalung panjang hingga perhiasan sebesar tambang.
Ada kejadian yang membuat ipar kapok. Ketika memasak di tempat hajatan, dia memakai kalung besar. Padahal hari-harinya tidak memakai perhiasan. Kalung itu jatuh entah di mana
Saya katakan kalau emas itu simpan untuk aset di hari tua bukan dipamerkan. Kalau hilang seperti ini malah rugi. Bayaran masak selama dua hari saja belum tentu bisa mengganti emas yang hilang.
Sejak saat itu, jika akan ke undangan atau masak di tepat hajatan, ipar tidak memakai emas. Entah tidak punya emas atau takut hilang lagi. Pastinya setiap dapat panenan, uangnya dititipkan ke saya agar aman dan tidak berkurang. Hehe.
Bagaimana menyikapi orang yang flexing?
Seperti yang saya katakan kepada teman, kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk tidak pamer apapun di media sosial atau dunia nyata.Â
Ketika mereka melakukannya, tanggapi saja santai. Jadikan motivasi untuk lebih giat belajar, bekerja, walaupun ada sedikit nyesek.Â