"Itu namanya cemburu, kamu mencintainya, Nay," seru Lila ketika aku mencurahkan kegalauan soal Zigi.
Aku membantahnya dengan seribu alasan.
"Mana mungkinlah aku mencintai cowok sok ganteng itu, La."
"Kalian saling mencintai, saling membutuhkan, tapi gengsi, tidak mau mengakuinya," ujar Lila lagi.
"Apa? Tidak mungkin! tidak mungkin! cowok itu baik kepada semua orang. Kamu saja paranormal gak pake bukti," bantahku sedikit sewot.
"Ini fakta. Coba kalau kamu dapat pesan atau lagi ngobrol sama si Zigi itu, kamu lupa waktu, " ucap Lila.
Aku diam, dalam hati membenarkan kicauan Lila.
"Sekarang, pesanmu selama 2 hari tidak dibalas Zigi, kamu tak bergairah gitu. Itu artinya kamu kesepian tanpa dia," lanjut Lila semakin membuka kemelut yang aku pendam.
"Sudahlah, akui saja kalau kamu mencintainya, katakan padanya sebelum kamu kehilangan dia," ujar Lila semakin menyudutkanku.
Membisu mendengar semua apa yang dikatakan Lila.Â
Dalam hari aku mengakui, bersama Zigi, aku bisa menertawakan kucing yang berhasil menangkap  kodok.
Atau kami sorak menyaksikan burung yang lolos dari sergapan si kucing manis milik penjaga sekolah.
Pikiranku menjauh, membayangkan hari itu.