Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Orang Tua Merawat Anak Bukan Sekadar Kewajiban, tetapi Ada Nilai Kebajikan

7 Agustus 2022   19:16 Diperbarui: 7 Agustus 2022   19:21 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang tua merawat anak yang belum mampu mengurus kehidupannya, dilihat dari sudut mana pun adalah suatu kewajiban.

Namun, walaupun digaungkan apa saja kewajiban orang tua terhadap anak, masih banyak anak yang dibuang, diadopsi bahkan diputus kehidupannya. Tentunya karena berbagai alasan yang dapat diterima oleh dirinya sendiri.

Jika berkaca dari peristiwa anak yang tidak mendapat kasih sayang dari orang tua, sejatinya anak harus menganggap orang tua begitu baik. Jika orang tua tidak memiliki sifat baik, kewajiban pun tidak dapat dilaksanakannya.

Saya sering mendengar ketika anak berantem dengan orang tua. Si orang tua mengatakan jika telah banyak berkorban demi anak.

Sementara si anak menjawab kalau itu sudah menjadi kewajiban orang tuanya.  

Ingatlah kalau bukan karena kebaikan mereka (kedua orang tua) anak tidak akan menikmati keindahan dunia ini dan ramainya dunia maya.

Jadi orang tua mendidik, membina jasmani dan rohani anak agar bisa berdiri sendiri di kemudian hari itu kewajibannya. Namun, dari kaca mata anak, terimalah itu suatu kebaikan yang luar biasa.

Seperti yang ingin saya kisahkan dalam artikel kali ini. Begitu besar kebajikan ibu ini menerima anaknya. Padahal dia punya kesempatan untuk memberikan anak ini kepada Dinas Sosial setempat yang telah menunggu lama di rumahnya.

Kisah Kelahiran Bayi Difabel dan Kebajikan sang Ibu

Lima puluh enam tahun yang lalu lahirlah seorang bayi difabel fisik tanpa kedua tangan dan kaki kanan. Kelahirannya itu membuat geger warga desa hingga terdengar ke seluruh kota termasuk pemerintahan kabupaten setempat.

Dinas Sosial datang mengunjunginya dengan niat merawat bayi itu, karena khawatir orang tuanya membuang bayi tersebut. 

Kabarnya ibu dari bayi itu tidak mau menyusui, jangankan menyusui, melihat pun dia enggan. Namun, ayah dari bayi malang tersebut tetap mempertahankan dan berusaha membujuk istrinya untuk memberi ASI.

Butuh perjuangan dan waktu lama bagi si Ibu menerima bayi difabel yang selama 9 bulan dikandungnya. Jadi selama 3 bulan bayi itu diurus oleh paraji atau dukun bayi desa.

Tidak bisa dipungkiri ketika harapan tidak sesuai kenyataan, orang akan sulit menerima, terlebih perkara anak. 

Seorang ibu pun akan lebih stres dibandingkan ayah ketika menerima kenyataan pahit. Hal ini karena berkaitan dengan peran utama ibu sebagai orang yang mengandung, mengasuh.

Orang tua membutuhkan waktu untuk menerima kelahiran anak yang berkebutuhan khusus. Ada tahapan yang harus dilaluinya. Menurut Dr. Elisabeth Kübler-Ross ada lima tahap duka cita hingga seseorang menerima kenyataan.

Lima tahap tersebut ditulis dalam bukunya “On Death and Dying”, yakni, penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.

Pertama denial (penolakan)

Orang yang sedang berduka pada tahap ini perasaannya bingung, malu, bercampur aduk, sehingga akan mengurung diri. Terlebih jika kerabat dan lingkungan tidak mendukung, dia akan mengalami depresi.

Tahap kedua angry (kemarahan)

Setelah ada perasaan malu, dia pun akan marah. Untuk melampiaskan kemarahan, akan menyalahkan diri sendiri, dokter, bidan atau orang-orang terdekat. 

Akibat dari marah itu seseorang yang berduka tidak ingin melakukan sesuatu. Jika dikaitkan pada ibu yang melahirkan bayi difabel, dia akan menolak menyusui dan mengasuh.

Tahap ketiga depression (depresi) 

Dalam kemarahan, seseorang akan merasa putus asa, kehilangan harapan. Di tahap ini akan berbahaya, bisa saja dia melakukan hal buruk pada dirinya sendiri atau orang lain. 

Jika dikaitkan pada si ibu yang melahirkan bayi difabel, dia bisa saja membuang, bahkan membunuh bayi tersebut.

Tahap keempat bargainning (menawar) 

Pada tahap ini, seseorang yang berduka akan merenung. Dia akan me berusaha menerima masukkan dari orang lain dan menghibur diri. Nasihat dan support dari orang lain dan keluarga sangat dibutuhkan, terutama perihal rasa syukur.

Apa yang terjadi sudah terbaik dari Tuhan. Tidak ada rencana Tuhan yang buruk. Penerimaan seperti itu bagi ibu yang sedang berduka sangat dibutuhkan.

Tahap kelima acceptance (peneriman)

Pada tahapan terakhir, dia yang berduka mulai berdamai dengan kenyataan. Dia menerima apa yang telah terjadi.

Untuk bisa ke tahap acceptance tidak bisa dipastikan berapa lama waktunya. Tergantung tingkat frustasi dan dukungan keluarga.

Sementara untuk menuju tahap penerimaan, ibu yang melahirkan bayi difabel itu membutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Hal itu setelah Dinas Sosial memaksa untuk membawa bayi itu. 

***

Foto saat kami umroh. Dokpri
Foto saat kami umroh. Dokpri

Kisah di atas, saya ambil dari cerita yang disampaikan ibu mertua ketika dia melahirkan anak keempat. Bayi sekarang menjadi suami saya. Dua puluh tahun lalu kami menikah.

Suami mengatakan, jika bukan kebaikan dari ibunya, dia sudah berada di Dinas Sosial dan tidak mungkin nasibnya sebaik sekarang ini.

Walaupun dalam kemiskinan, orang tuanya bekerja lebih giat untuk memberi makan anak difabel yang tidak bisa membantu pekerjaan rumah.

“Untuk apa dirawat, dia tidak akan bisa bekerja untuk membantu keluarga.” Kalimat ini sering didengarnya.

“Untuk apa sekolah, nanti juga tidak akan bisa bekerja.” Ini juga sering terdengar.

Dengan kebaikan orang tua yang tidak pernah mati, seorang anak akan sukses dan perubahan itu pasti.  Jadi sebesar apapun kesalahan orang tua di masa lalu, maafkan, doakan karena ada kebajikan di dalamnya yang tidak bisa dipahami anak.

Semoga bermanfaat.

#BlogCompetitionMettasik

#KebajikanMettasik

#MaybankFinance

#KomunitasPenulisMettasik

Bahan bacaan   www.simonandschuster.com 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun