Seperti kita ketahui kota-kota di Indonesia banyak membangun ruang publik yang nyaman.Â
Namun, dari sekian banyak ruang publik yang dibangun, saya belum sepenuhnya menikmati ruang yang ramah disabilitas. Ketika berjalan dengan suami, sering kali kesulitan dengan trotoar yang terlalu tinggi, tanjakan.
Memang sudah dibangun akses kursi roda, tetapi tingkat kemiringan terlalu curam, seharusnya memenuhi standar minimal agar mudah dilalui pengguna kursi roda.Â
Jika jalan itu terlalu curam, ketika naik atau turun akan membahayakan pengguna kursi roda dan pendorong, apalagi yang dorong kursi tersebut perempuan.
Itu sebabnya banyak disabilitas yang enggan nongkrong di taman atau tempat lain. Sekalipun ke luar rumah, mereka memerlukan pendamping dan harus bekerja lebih keras agar bisa liburan.Â
Sebenarnya ruang publik itu untuk siapa? Dalam hal ini kita cari tahu pengertiannya dari ruang publik.Â
Pengertian Ruang Publik
Mengutip dari jurnal yang ditulis Dedi Hantono, seorang arsitektur Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2022, ruang publik dapat didefinisikan secara sederhana yaitu ruang terbuka yang berada di luar bangunan. Namun, ada banyak pemaknaan yang sangat beragam.
Dedi Hantono menuturkan, menurut Chua Beng-Huat dan Norman Edwards (1992) ruang publik memiliki cakupan yang cukup luas sebagaimana yang dikutipnya dari Roger Scruton (1984) bahwa :
- Ruang publik menggambarkan tempat yang dirancang secara sederhana,
- Setiap orang memiliki hak mengaksesnya
- Tempat pertemuan antara pengguna individu yang tidak terencana dan bukan yang bersifat rutinitas,
- Adanya sikap sopan santun antar sesama pengguna
Sedangkan pemahaman mengenai ruang publik ini menurut Wikipedia adalah sebuah areal atau tempat di mana suatu masyarakat atau komunitas dapat berkumpul demi tujuan yang sama. Areal ini dapat berupa ruang dalam dunia nyata atau real space, contohnya, berupa taman-taman, sekolah, gedung-gedung bersama, tempat olahraga. Areal lainnya adalah dunia maya atau virtual space yang berupa grup-grup Facebook, WhatsApp, LINE dan lain-lain.
Mengacu pada pengertian yang dijelaskan oleh Dedi, jelas ruang publik diperuntukkan bagi semua orang tanpa kecuali, entah itu kaum disabilitas atau masyarakat pada umumnya.
Hanya karena alasan keindahan terkadang ruang publik tidak bisa dijangkau orang berkebutuhan khusus. Misalnya jalannya tinggi, bertangga, tidak dibarengi jalan miring yang bisa dilalui kursi roda, ada pembatas atau pagar.Â
Sebenarnya jika ruang publik ramah disabilitas bukan saja kaum disabilitas yang bisa menggunakan, tetapi orang tua yang sudah sepuh, bayi dengan kursi dorongnya.
Real Space yang Aksesibilitas bagi Difabel
Ruang publik yang harus memiliki akses bagi difabel bukan hanya ruang terbuka untuk penyegaran saja. Tempat lain pun harus memiliki aksesibilitas, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, perkantoran, tempat ibadah dan tempat lain yang biasa digunakan warga.
Namun sayang, walaupun hak aksesibilitas telah diatur UU No 8 pasal tahun 2016, masih banyak perkantoran yang tidak menyediakan kemudahan bagi disabilitas.
Seperti yang sering terjadi pada suami, dia tidak masuk ke dalam bank atau kantor layanan publik lainnya hanya karena sulitnya untuk masuk. Solusinya, pihak costumer atau satpam datang ke mobil meminta tanda tangan yang diperlukan.
Selain kantor pemerintahan yang masih banyak tidak ramah disabilitas, masjid pun demikian. Sangat sedikit masjid menyediakan akses, menyediakan alat untuk kaum difabe. Â Â
Salah satu masjid yang sudah memiliki akses kursi roda adalah masjid Agung Al-Aqsa Klaten. Di sana ada jalan miring untuk menuju tempat wudhu dan ke lantai satu. Ada juga lift untuk sampai ke tingkat selanjutnya. Kelemahannya, tanjakan terlalu curam, sehingga butuh tenaga untuk mendorong.Â
Saat kunjungan terakhir, karena suami memakai kursi roda elektrik, sedikit terbantu. Saya hanya lawani agar tidak macet di tengah tanjakan.
Bagaimana peran pemerintah
Seperti yang pernah saya sampaikan di artikel sebelumnya, sebenarnya pemerintah telah berusaha agar ada kesetaraan dengan membuat undang-undang disabilitas. Namun, untuk bisa 100 persen terlaksana, membutuhkan waktu lama dan campur tangan banyak pihak.
Kebutuhan terhadap ruang ramah disabilitas akhirnya perlu menjadi perhatian banyak orang, terlebih pemerintah setempat.Â
Hadirnya komunitas yang fokus pada isu disabilitas sangat membantu menyuarakan kebutuhan para difabel. Melalui pendekatan kepaa mereka, pemerintah bisa tahu akses yang memenuhi syarat bagi kaum disabilitas itu seperti apa. Misalnya tingkat kemiringan suatu tanjakan, loket pendaftaran di layanan kesehatan, ukuran lebar pintu masuk dan keluar.
Semoga ke depannya ruang publik menjadi aksesibilitas. Tidak ada sekat antaranya.
Salam hemat selalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H