"Jangan bilang kamu berharap kamu tidak hidup. Itu buruk. Kamu tidak bermaksud demikian."
Kita tidak perlu menghibur anak dengan kata-kata tersebut di atas karena akan menambah emosinya. Ketika anak saya mengatakan bahwa dirinya bodoh karena tidak masuk kelas unggulan dan saya mengatakan, "Kamu pintar, De." Eh dia pun tambah meluap emosinya. Mulut saya terkunci deh.
Anak pun tidak akan bercerita masalah yang dihadapinya. Untuk membantu mereka, kita perlu memahami semua perasaan mereka.
Misalnya, jika anak kita mengatakan dia berharap ingin mati, kita dapat menjawab, "Itu perasaan yang sangat besar. Mamah sangat senang kamu berbagi perasaan. Ceritakan lebih banyak. Mamah ingin mengerti, kenapa kamu ada keinginan untuk tidak hidup."
Dengan memahami perasaan anak dan masuk ke dalam emosinya akan membuat sistem sarafnya tenang dan dia akan cerita perasaannya.Â
2. Bantu anak merenungkan perasaannya
Ketika anak sudah mulai terbuka dengan perasaannya, jangan menghakimi dia. Kita perlu membantu merenungkan perasaannya untuk mendapat perspektif.
Ketika kita tidak menghakimi anak, dia akan lebih terbuka untuk mendengarkan ide. Kita juga bisa membantu anak-anak untuk mengembangkan diri dalam segala hal yang sifatnya jangka panjang.
Ketika anak saya mengatakan dirinya bodoh karena tidak masuk kelas unggulan, saya mengajaknya untuk membuat terobosan dengan fokus pada belajar. Tidak ada 6 bulan prestasinya meningkat.
3. Bantu anak untuk mengubah self talk negatif menjadi positif
Self-talk positif kebalikan dari self talk negatif, di mana anak selalu berpikir positif tentang dirinya. Ini erat kaitannya dengan kepercayaan diri.