Pada tahun 1990, tradisi nenek moyang mulai berubah. Pada masa itu pangang ayam tidak disimpan lagi di setiap pojok sawah.
Nasi berikut lauk, seperti ayam panggang, sayur klewih, uraban telur rebus, tahu bumbu kuning disimpan di dalam wadah besar beralas daun pisang. Ritual seperti biasa dipimpin oleh sesepuh desa. Setelah sesepuh desa keliling sawah, dia mengambil satu tangkai padi. Makanan dibagikan memakai daun pisang kepada warga yang hadir.
Pada masa ini, dari tahun ke tahun, warga mulai berkurang melaksanakan methil, terutama pada tahun 2000.
Methil setelah pandemi
Tahun ini sangat berbeda, tidak ada ritual. Menurut saya karena tidak ada sesepuh yang bisa disepuhkan untuk melaksanakan ritual methil. Generasi muda pun semakin praktis dalam berpikir.
Untuk bersyukur tidak harus melaksanakan ritual. Bersyukur bisa dilaksanakan dengan berdoa di rumah, makanan diantar ke kerabat dan tetangga sebagai sodaqoh. Jenis makanan pun tidak wajib pangang dan uraban, sayur lodeh kluwih.
Itulah tradisi methil berubah sesuai zaman dan keadaan. Menurut suami yang asli orang desa sini, setiap periode memang ada perubahan, mulai dia kecil dewasa, bekerja hingga punya sawah sendiri.
Cara Menghitung Hari Baik untuk Melaksanakan Methil
Semua hari baik, tetapi untuk methil ada hari yang dianggap paling baik. Cara menghitungnya berdasarkan ilmu turun temurun dari nenek moyang. Mungkin setiap daerah berbeda cara menghitungnya.Â
Berdasarkan informasi yang saya terima, hari dalam perhitungan sawah ada lima, sri, kiti, royong, rumpas, roboh. Dari lima nama itu yang bagus adalah sri dan kiti. Royong, rumpas, roboh itu situasi yang buruk terhadap tanaman padi.
Untuk mendapatkan sri dan kiti harus ada gabungan hitungan kalender jawa, seperti,  pahing, pon, wage, kliwon, legi. Di sini sesepuh sudah tahu berapa jumlah hari tersebut. Dari jumlah itu harus tepat dengan sri atau kiti.