Urusan tanah seringkali jadi permasalahan yang rumit. Entah itu tanah warisan atau milik pribadi. Seperti pengalaman teman saya. Dia membeli tanah, ternyata setelah dua tahun, tanah itu dituntut oleh ahli waris. Teman saya tidak cek kepemilikan tanah tersebut.
Untungnya yang jual tanah mau mengembalikan uang kepada ahli waris lainnya. Namun, teman saya tidak berani membangun rumah di atas tanah yang masih sengketa.
Berbeda dengan pengalaman saya. Ketika ada salah seorang kerabat, sebut saja Pak Marjo. Pak Marjo ini menawarkan tanah sawah kepada suami.
Setelah ada kesepakatan jual beli, dia datang sendiri, istrinya sebagai saksi tidak diajak.
"Gak usah pakai saksi dari pihak saya, sertifikat ini sudah atas nama saya, warisan dari orang tua," kata Pak Marjo.
Dia juga beralasan kalau anak-anaknya sudah setuju. Sebagai pembeli saya tidak setuju jika tidak ada persetujuan istrinya, walaupun menurut pengakuan tanah itu warisan dari orang tua Pak Marjo. Musyawarah sangat alot. Akhirnya, saya putuskan untuk datang menemui keluarganya.
Apa kata istri dan anak Pak Marjo?
Mencengangkan, istri Pak Marjo mengatakan kalau tanah ini bukan warisan, tetapi dibeli setelah pernikahan.
"Itu harta gono gini, Mbak. Saya tidak mau tanda tangan," ujar istri Pak Marjo.
Anaknya pun demikian, mereka tidak setuju kalau tanah itu dijual dan uangnya dipegang Pak Marjo. Saya pun meminta keluarga Pak Marjo untuk musyawarah kembali sebelum tanah itu dijual.