Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Mengenang Masa-masa Menjadi Tenaga Honorer yang Penuh Suka Duka

7 Februari 2022   08:54 Diperbarui: 9 Februari 2022   05:29 2347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika jadi tenaga honor dengan seragam. Foto pribadi 

Saya menjadi tenaga honorer pada tahun 1997 di salah satu SMK Negeri Bandung tetapi hanya sebentar. Tahun berikutnya bekerja di SMA Negeri favorit Majalengka.

Sekolah itu tempat saya menamatkan sekolah menengah pada tahun 1995. Jadi begitu bekerja sebagai tenaga komputer di tata usaha, sebagian guru tidak asing, terutama guru yang mengajar di kelas fisika.

Pada masa itu kelas A.1 hanya satu kelas dan muridnya sedikit, 21 orang. Dengan jumlah murid sedikit, guru mudah hafal. Saya pun orangnya supel, jadi mudah diingat oleh guru mata pelajaran (mungkin juga sih, hehe)

Menerima tawaran bekerja menjadi tenaga honorer apalagi sebagai PTT (Pegawai Tidak Tetap) mendapat pertentangan dari kakak sepupu. 

Dia sering ke rumah menawarkan pekerjaan ke luar negeri menjadi asisten rumah tangga dengan iming-iming gaji besar.

Saya tidak tertarik berangkat jadi TKW, apalagi orang tua. Kalau orang tua masih memegang prinsip, "Makan gak makan asal kumpul". 

Bukan itu saja alasan orang tua melarang saya menjadi TKW. Banyak kekhwatiran dengan isu yang menimpa TKW.

"Gaji sedikit  yang penting berkah, dileukeunan wae," pesan bapak saat itu. Orang tua berharap keberkahan. Keberkahan tidak bisa dihitung dengan uang.

Bangga memakai seragam?

Seragam adalah identitas pekerja, siapa yang tidak bangga memiliki identitas. Namun, jangan pula menjadi sombong apalagi dijadikan alasan untuk menyakiti orang lain.

Dengan berseragam sering juga mendapat candaan, "Gayana wae seragaman, gaji mah kecil, mana cukup untuk beli baju."

Memang benar, tenaga honor tidak langsung diberi seragam apalagi seragam korpri, seragam cokelat atau seragam yang sama dengan PNS. Kita para PTT hanya disarankan memakai pakaian sopan warna polos.

Ketika jadi tenaga honor dengan seragam. Foto pribadi 
Ketika jadi tenaga honor dengan seragam. Foto pribadi 

Pernah dapat seragam 2 kali, tetapi itu pun hanya separuh dari jatah PNS. Kalau pegawai TU PNS dapat 4 meter, honor hanya 2 meter. Kalau yang badannya tinggi besar cukup untuk bawahan saja, karena saya kecil bisa untuk satu setel, itu pun dijahit sendiri, jadi bisa irit.

Dengan gaji sedikit, saya pun mencari solusi agar seragam dan sepatu itu awet. Culun juga sih, tetapi namanya masih bujang dan muda, saya cuek saja. 

Jika berangkat kerja, seragam dimasukkan ke dalam kresek. Saya hanya memakai baju biasa bersandal  atau sepatu jelek. 

Kadang juga memakai seragam tetapi hanya roknya saja, atasnya kemeja. Setibanya di kantor baru ganti kostum. Untuk sepatu berhak tinggi atau kerennya high heels sudah  tersimpan di lemari kantor.

Dengan penampilan yang sederhana, sering dikira anak SMA oleh kondektur. Ongkos hanya ditarik 50% dari ongkos umum. Misalnya waktu itu ongkos angkot 500 rupiah, saya sering dapat kembalian 250 rupiah. 

Gaji honor apa cukup?

Gaji pertama saya pada tahun 1998 sebesar 50 ribu rupiah. Untuk ongkos angkot dari rumah ke kantor sebenarnya cukup. 

Waktu itu ongkos pulang pergi 2 ribu rupiah, jika dalam 6 hari, biaya ongkos 12 ribu. Ongkos satu bulan berarti 48 ribu rupiah. Itu ongkos saja, selama di kantor jangan jajan, heheh. 

Eah tadi kan saya sering dapat diskon ongkos, tetapi itu tidak setiap naik angkot. Kalau keneknya lagi khilaf saja, salah melihat penampilan saya. Kalau dihitung-hitung pengeluaran untuk angkot sekitar 35-40 ribu.

Masih kata ibu, "Rezeki datang dari mana saja". 

Untuk mencukupi kebutuhan, saya pun mencari sampingan. Dengan keahlian mengoperasikan komputer, sepulang kerja dari SMA saya kerja lagi di rental komputer.

Upah dari hasil ngetik lumayan besar, apalagi jika ngetiknya cepat.  Namun, kerja di rental itu musiman. Jika banyak mahasiswa yang nyusun skripsi, tugas, orderan pun banyak. Jika sepi, saya dirumahkan.

Tahun kedua saya bekerja sebagai PTT, sekolah membuka kelas komputer di sore hari. Saya pun digeret untuk membantu di kelas komputer. 

Siswa pun sering memanggil saya bukan "Bu Sri atau Teh Sri", melainkan" Teh Nci komputer", karena dari pagi hingga sore berhadapan dengan komputer.

Ngajari siswa komputer. Foto pribadi 
Ngajari siswa komputer. Foto pribadi 

Selain dua tugas, sebagai PTT di TU dan tenaga laboratorium komputer, saya pun diberi kepercayaan sebagai bendahara PGSI (Persatuan Gulat Seluruh Indonesia) kabupaten. Penghasilan tiap bulan pun ikut bertambah.

Oh ya setelah satu tahun menjadi PTT, gaji honor pun naik dari 50 ribu, 125 ribu lalu naik lagi jadi 300 ribu. Jika ditotal setiap bulannya saya dapat pemasukan 600 ribu rupiah. Sementara PTT lain masih 125-150 ribu rupiah.

Gaji 125-150 ribu rupiah itu bagi PTT yang pasif, datang pukul 07.00 dan pulang ikut jam siswa berakhir pelajaran. 

Sementara saya datang ke kantor pukul 06.00 pagi, pulang pukul 18.00. Jam istirahat pun hanya waktu salat dan makan siang saja.

Selain 3 pekerjaan itu, saya juga masih membuat makanan kecil untuk dititipkan di kantin sekolah. Malamnya saya terima jahitan dari teman-teman dan tetangga. Malam hari saya tidur hanya sekitar 3-4 jam.

Dengan pemasukan dari berbagai sumber hampir 1,5 juta per bulan, saya bisa membantu orang tua untuk biaya kuliah adik di UPI dan adik yang SMA.

Jadi tenaga honorer itu harus hampang birit, artinya kalau disuruh harus cepet mau, selalu siap laksanakan agar rejekinya dikasih bonus, hehe...matre. 

Namun, kadang tidak sesuai dengan keahlian yang kita miliki. Saya pernah ditugaskan di koperasi oleh kepala TU. 

Di koperasi bukan ngurus keuangan di komputer, tetapi jadi pelayan gorengan yang ibu-ibu TU titipkan. 

Untungnya hanya beberapa hari, karena mendapat pembelaan dari para Wakasek, "Kerjaan di komputer saja banyak, kok disuruh jaga gorengan."

Saya rasanya terbebas dari belenggu. Begitulah kalau jadi honorer, terkadang tidak mendapat tempat yang semestinya. 

Pada tahun 2003, saya memutuskan resign dan menjadi ibu rumah tangga seratus persen. Penghasilan bulanan saya lepaskan, seragam, sepatu saya tinggalkan, dan komputer saya serahkan ke kantor. 

Waktu awal menikah apalagi melihat yang berseragam kantor, saya sering murung dan sedih karena  seragam saya setiap hari kok jadi daster. 

Setiap pagi pun bukan komputer lagi yang dipegang, tetapi cucian piring, baju kotor, lap pel, dan yang lain.

Sedih? Pastinya, terlebih jika jatuh gara-gara serimpet daster yang kedodoran. Hihi.

Apapun seragamnya tetap bangga, karena itu identitas diri yang penting tetap berkarya,bermanfaat.

Salam bahagia.

Baca juga : Tenaga Kebersihan Tetap Bekerja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun