Selain 3 pekerjaan itu, saya juga masih membuat makanan kecil untuk dititipkan di kantin sekolah. Malamnya saya terima jahitan dari teman-teman dan tetangga. Malam hari saya tidur hanya sekitar 3-4 jam.
Dengan pemasukan dari berbagai sumber hampir 1,5 juta per bulan, saya bisa membantu orang tua untuk biaya kuliah adik di UPI dan adik yang SMA.
Jadi tenaga honorer itu harus hampang birit, artinya kalau disuruh harus cepet mau, selalu siap laksanakan agar rejekinya dikasih bonus, hehe...matre.Â
Namun, kadang tidak sesuai dengan keahlian yang kita miliki. Saya pernah ditugaskan di koperasi oleh kepala TU.Â
Di koperasi bukan ngurus keuangan di komputer, tetapi jadi pelayan gorengan yang ibu-ibu TU titipkan.Â
Untungnya hanya beberapa hari, karena mendapat pembelaan dari para Wakasek, "Kerjaan di komputer saja banyak, kok disuruh jaga gorengan."
Saya rasanya terbebas dari belenggu. Begitulah kalau jadi honorer, terkadang tidak mendapat tempat yang semestinya.Â
Pada tahun 2003, saya memutuskan resign dan menjadi ibu rumah tangga seratus persen. Penghasilan bulanan saya lepaskan, seragam, sepatu saya tinggalkan, dan komputer saya serahkan ke kantor.Â
Waktu awal menikah apalagi melihat yang berseragam kantor, saya sering murung dan sedih karena  seragam saya setiap hari kok jadi daster.Â
Setiap pagi pun bukan komputer lagi yang dipegang, tetapi cucian piring, baju kotor, lap pel, dan yang lain.
Sedih? Pastinya, terlebih jika jatuh gara-gara serimpet daster yang kedodoran. Hihi.