Pada umunya relawan banyak diikuti para mahasiswa, tetapi banyak pula ibu-ibu yang sudah menikah bahkan memiliki anak. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
Dari pengalaman drg. Meivany Azarini yang menjadi relawan di Palu pada Oktober 2018, saya bisa menyimpulkan ternyata butuh perjuangan dan kerelaan untuk menjadi relawan bencana alam.
Selain meninggalkan suami, anak-anak, pekerjaan, juga risiko keselamatan. Tidak menutup kemungkinan selama menjadi relawan, bencana kedua akan terjadi.
Seperti ceritanya, seorang ibu sesama relawan, bahkan mengalami patah tulang saat menyelamatkan anak kecil. Dia kembali kepada keluarganya dalam keadaan memakai kursi roda.
Akses menuju Palu juga saat itu sangat sulit, hingga hari kedelapan Mak Rini dan rombongan, baru mendapatkan pesawat. Itu pun bukan pesawat komersil, melainkan pesawat hercules yang serba sederhana.
Selama 14 hari di Palu, relawan nasibnya sama seperti korban, tinggal di pengungsian, makan seadanya, istirahat kurang. Setiap saat harus siap siaga membantu korban teruma dalam hal kesehatan mereka.
Pengalamannya menjadi relawan korban bencana alam di Palu, telah dibukukan dengan judul "Merawat Duka Menyemai Cinta".Â
Apa yang harus disiapkan seorang ibu rumah tangga jika ingin menjadi relawan?
Masih mengacu kepada kisah Mak Rini, begitu saya memanggil drg. Meivany. Banyak yang harus disiapkan untuk berangkat membantu para korban bencana.