Tradisi berkunjung ke tetangga saat lebaran, di desa kami, memang masih kental. Namun, pada saat Natal, tradisi umat Islam datang kepada umat Kristen, tidak ada. Kami cukup menghargai saja kalau mereka sedang merayakan Natal.
Tradisi weweh
Teman-teman pasti bingung apa itu weweh, sama seperti saya dulu ketika pertama kali tinggal di desa.Â
Kata weweh dalam kamus bahasa Jawa Indonesia artinya adalah memberi. Bukan memberi ucapan selamat Natal atau Idulfitri, tetapi memberi bingkisan berupa makanan yang sudah dimasak, seperti sayur, nasi, lauk, jajanan.
Tidak sembarang lauk yang bisa kita olah, harus ada nilai kepatutan. Tempatnya pun tidak memakai dus nasi, piring. Kita harus menyiapkan rantang bersusun 4.
Susunannya seperti ini, bagian bawah diisi dengan nasi, lalu mie goreng, ketiga diisi kg ayam bumbu atau goreng dan tahu goreng 3 potong, susunan yang paling atas adalah sayur.
Untuk sayur bervariasi, bisa soto, rawon, lodeh tempe lombok hijau. Ini tergantung dari kemampuan seseorang. Mie goreng juga bisa diganti dengan sambal goreng ketang, bihun, capcay, intinya pantas.
Saya biasanya membuat weweh untuk 150-200 orang, termasuk tetangga dan kerabat, baik yang beragama Islam ataupun Kristen. Namun, lima tahun ini tradisi weweh, saya ganti dengan bingkisan mentahan, tidak lagi dengan masakan. Alasannya bukan menghapus tradisi, melainkan kemanfaatan.
Ketika menjelang lebaran, yang weweh rantang itu tidak satu dua orang. Terkadang saya mendapat lebih dari satu rantang. Makanan menumpuk menjadi balakatineung atau blendrang. Setiap hari dipanasi, ujung-ujungnya dibuang atau jadi makanan ayam.
Solidaritas antar beragama di desa memang sangat kental, terutama saat perayaan. Saya pun sering mendapat bingkisan dari tetangga yang beragama Kristen.Â
Hadiah tidak selalu diberikan saat perayaan Natal saja, bisa pada saat momen senang, ulang tahun, kelahiran bayi, nikahan, bahkan saat ada acara kirim doa. Saling memberi antar tetangga tidak menunggu perayaan, bisa kapan saja sebagai bentuk kekeluargaan.
Salam hangat selalu