Solidaritas antar tetangga di desa memang sangat terkenal, tetapi, dengan kemajuan teknologi, hal itu semakin terkikis.Â
Jika desanya berada di perbatasan kota dan kabupaten, gaya hidup sudah bercampur dengan gaya metropolitan yang cuek. Seperti yang pernah disampaikan karyawan saya yang tinggal di perbatasan.
Berbeda dengan dusun tempat saya tinggal. Walaupun letaknya hanya 600 meter dari terminal, bisa dikatakan perbatasan kota dan kabupaten. Namun, solidaritas, kekeluargaan antar tetangga masih kental. terutama berlainan agama.
Di dusun berdiri satu masjid yang besar, letaknya 100 meter dari rumah ke arah barat. 300 meter ke arah timur berdiri pula gereja besar. Dengan berdirinya dua tempat, ibadah menandakan ada dua penganut agama. Namun, mayoritas penduduk beragama Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari kami berinteraksi seperti biasa, tidak pernah menyinggung masalah agama, apalagi pilih-pilih berteman. Kami masih mempertahankan solidaritas antar umat beragama.
Yuu saya ajak kenalan bagaimana kerukunan di dusun tempat saya tinggal.
Solidaritas dalam beribadah
Seperti yang telah saya sebutkan di atas, dusun kami ada dua tempat ibadah, masjid dan gereja. Keduanya berada di tengah-tengah penduduk.
Walaupun hidup kami bercampur bukan berarti bercampur dalam beribadah. Kami cukup solider dalam keseharian, misalnya, ketika perayaan Natal, ada hansip yang berjaga di area gereja. Hansip itu sendiri tidak harus beragama Kristen, tetapi beragama Islam.
Begitu juga ketika umat Islam merayakan IdulFitri. Umat Kristen menghargai kami yang sedang beribadah. Bahkan banyak diantara mereka yang turut merayakan dengan cara datang ke rumah untuk silaturahmi.
Tradisi berkunjung ke tetangga saat lebaran, di desa kami, memang masih kental. Namun, pada saat Natal, tradisi umat Islam datang kepada umat Kristen, tidak ada. Kami cukup menghargai saja kalau mereka sedang merayakan Natal.
Tradisi weweh
Teman-teman pasti bingung apa itu weweh, sama seperti saya dulu ketika pertama kali tinggal di desa.Â
Kata weweh dalam kamus bahasa Jawa Indonesia artinya adalah memberi. Bukan memberi ucapan selamat Natal atau Idulfitri, tetapi memberi bingkisan berupa makanan yang sudah dimasak, seperti sayur, nasi, lauk, jajanan.
Tidak sembarang lauk yang bisa kita olah, harus ada nilai kepatutan. Tempatnya pun tidak memakai dus nasi, piring. Kita harus menyiapkan rantang bersusun 4.
Susunannya seperti ini, bagian bawah diisi dengan nasi, lalu mie goreng, ketiga diisi kg ayam bumbu atau goreng dan tahu goreng 3 potong, susunan yang paling atas adalah sayur.
Untuk sayur bervariasi, bisa soto, rawon, lodeh tempe lombok hijau. Ini tergantung dari kemampuan seseorang. Mie goreng juga bisa diganti dengan sambal goreng ketang, bihun, capcay, intinya pantas.
Saya biasanya membuat weweh untuk 150-200 orang, termasuk tetangga dan kerabat, baik yang beragama Islam ataupun Kristen. Namun, lima tahun ini tradisi weweh, saya ganti dengan bingkisan mentahan, tidak lagi dengan masakan. Alasannya bukan menghapus tradisi, melainkan kemanfaatan.
Ketika menjelang lebaran, yang weweh rantang itu tidak satu dua orang. Terkadang saya mendapat lebih dari satu rantang. Makanan menumpuk menjadi balakatineung atau blendrang. Setiap hari dipanasi, ujung-ujungnya dibuang atau jadi makanan ayam.
Solidaritas antar beragama di desa memang sangat kental, terutama saat perayaan. Saya pun sering mendapat bingkisan dari tetangga yang beragama Kristen.Â
Hadiah tidak selalu diberikan saat perayaan Natal saja, bisa pada saat momen senang, ulang tahun, kelahiran bayi, nikahan, bahkan saat ada acara kirim doa. Saling memberi antar tetangga tidak menunggu perayaan, bisa kapan saja sebagai bentuk kekeluargaan.
Salam hangat selalu
Baca juga : Salam Tempel saat Lebaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H