Saya bercita-cita menjadi guru sejak kecil, karena sering melihat bapak mengajar di sekolah dasar.Â
Kata orang, "Budak mah moal jauh ti profesi kolotna". Artinya kelak anak tidak akan berbeda jauh dengan pekerjaan orangtuanya karena diberi makan dari hasil keringat ngajar.Â
Apakah cita-cita saya ada hubungannya dengan pernyataan itu?
Berikut pengalaman saya
Pada tahun 80-an, bapak bertugas di sebuah desa yang sangat jauh dari kota. Kami tinggal bukan di rumah kontrakan, melainkan di ruang kelas yang kosong.Â
Ruang itu oleh bapak disekat kain menjadi tiga ruangan; kamar tidur, dapur dan ruang tamu. Sedangkan kamar mandi nunut di toilet umum belakang sekolah.
Tinggal di desa terpencil dan menempati ruang kelas, bagi Ibu saya yang terbiasa di kota mungkin sangat sulit.Â
Namun, saat itu kami bisa menyesuaikan dengan kehidupan pas-pasan hingga saya duduk di kelas empat sekolah dasar.
Apa yang membuat saya tertarik menjadi guru?
Ketertarikan ingin menjadi guru tentu bukan dari gaji, karena saya tahu penghasilannya sedikit. Misalnya, gaji bapak, saat itu tidak cukup untuk menghidupi lima anaknya. Bapak dan Ibu harus kerja keras mencari sampingan, salah satunya beternak ayam.Â
Saya sering kali melihat bapak mengajari muridnya penuh sabar, walaupun kata orang bapak seorang guru yang galak.Â
Saya menafsirkan bapak itu tegas bukan galak, dalam bicara, ya mirip-mirip kurang bercanda. Karakter setiap guru berbeda, namun pada umumnya guru jaman dulu itu lebih tegas dibandingkan sekarang.Â
Saya salut pada kesabaran guru sekolah dasar yang harus mengajari membaca dan  menulis pada anak didiknya.Â
Selain itu, Â pendidikan tidak terbatas pada pengembangan menulis dan membaca atau kemampuan intelektual dan akademis. Ada yang tak kalah penting yakni pengembangan karakter.
Mencapai tujuan pendidikan yang ideal tentu memerlukan perjuangan dan proses panjang. Kalau seorang guru tidak memiliki sifat sabar, tidak ada yang bisa tercapai.
Ketika melihat perjuangan itu, saya pun ingin berada di dalamnya. Namun, ketika lulus SMA, cita-cita itu terhempas karena gaji bapak yang masih minim,.
Kata Ibu, "Cari kerja saja, biar bisa membantu biaya sekolah adik-adik."
Bekerja di SMK
Lulus SMA pada tahun 1995, masih ingin menjadi guru, sehingga mencari pekerjaan juga ke sekolah-sekolah. Hingga pada akhirnya diterima di salah satu SMKN di Bandung sebagai tenaga honor di Tata Usaha (TU) bagian kesiswaan.
Berhenti dari SMKN, saya bekerja di SMAN tempat dulu menamatkan sekolah menengah. Masih menjadi tenaga honor di Tata Usaha (TU), tetapi fokus mengoperasikan komputer.Â
Pada masa itu, komputer sesuatu yang langka, tidak semua orang bisa mengoperasikannya. Bahasa yang tertera dalam layar pun dengan bahasa Inggris.
Pagi hari hingga siang saya sebagai pegawai tidak tetap, sore hari membantu mengajar komputer untuk siswa kelas dua dan tiga di SMA.
Dari perjalanan itu, ada seorang dosen menawarkan beasiswa kuliah di perguruan tinggi swasta tempatnya bekerja.Â
Penawaran baik tentu tidak boleh ditolak, tetapi dalam waktu selang beberapa hari, ada penawaran lain, yakni menikah.
Saya berpikir, mungkin setelah menikah bisa melanjutkan penawaran beasiswa. Namun, sayang sekali, saya harus pindah ke luar Jawa Barat.Â
Suami pun tidak mengizinkan saya sekolah. Akhirnya menjadi ibu rumah tangga yang duduk manis, kerja manis, momong anak manis, tersenyum manis menerima uang bulanan.
Apakah Cita-cita menjadi pendidik berhenti?
Tentu tidak, orangtua adalah pendidik utama dalam keluarga. Gelar guru mungkin tidak disandang, tetapi tugas guru harus dimulai.Â
Tidak bermaksud mengesampingkan peran seorang guru. Akan tetapi, saya yakin semua setuju, antara orangtua dan guru di sekolah harus ada kerja sama yang kompak.Â
Kerja sama orangtua dan guru harus lebih ditingkatkan, terlebih sekarang ini setelah pendidikan terkena dampak akibat pandemi.Â
Pendidikan harus dipulihkan sesuai tema Hari Guru Nasional "Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan."
Mari kita sama-sama berperan mendidik anak-anak demi masa depan Negara.
Selamat Hari Guru, 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H