Saya melakukan pekerjaan rumah tangga sejak sekolah dasar kelas empat, ketika ibu saya melahirkan anak kelima. Waktu itu, Bapak sering membangunkan anak-anaknya pas adzan subuh.
Setelah salat Subuh, Bapak mengajak saya dan kakak ke sungai cideres untuk mencuci baju. Sungai itu cukup lebar, airnya jernih dan banyak bebatuan yang bisa digunakan untuk mencuci pakaian. Jika pagi, banyak warga yang beraktivitas, nyuci piring, baju, mandi,Â
Bapak menggosok pakaian kotor di atas batu lebar, sementara saya dan kakak membilas dan memasukkannya kembali ke dalam ember. Pekerjaan mencuci dilakukan setiap hari sebelum ke sekolah.
Pulang dari sungai, kakak akan menjemur pakaian, saya menyapu  rumah, Bapak sibuk dengan tanamannya di sebelah rumah. Pagi-pagi semua anggota keluarga sibuk dengan tugasnya masing-masing, termasuk adik yang masih kecil. Dia menjaga adik bayi tatkala Ibu memasak sarapan.
Tugas-tugas kerumahtanggaan, saya belajar dari Ibu dan Bapak. Mereka tidak pernah mengatakan manfaatnya karena orang tua jaman dulu tidak belajar ilmu parenting. Ini hanya ilmu turun temurun, kalau anak perempuan harus bisa mengurus pekerjaan rumah tangga. Seolah-olah anak perempuan harus jadi ibu rumah tangga. Padahal tidak juga, setiap nasehatnya terselip harapan, "Belajar, biar jadi orang sukses."
Bagaimana dengan anak-anak milenial?
Dalam sebuah kegiatan lingkungan, ada seorang ibu yang terlambat datang. Dia memberi alasan keterlambatannya karena pekerjaan di rumah banyak, mencuci piring, baju, nyapu, ngepel dan sebagainya.
Seseorang menyeletuk, "Putrinya diajari nyuci piring, kan sudah remaja!"
Si Ibu menjawab, "Halah ... kelamaan, daripada kedua anak saya berantem, mendingan tak kerjakan sendiri, aman."
SI ibu berpendapat dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri, keadaan rumah jauh dari perselisihan saudara.
Berbeda dengan tanggapan ibu mertua saya, ketika anak bujang yang saat itu masih sekolah dasar ikut serta mencuci piring. "Le ... kowe dikongkon mamahmu toh isah-isah?"Â artinya, "Nak ... kamu apa disuruh mamahmu nyuci piring?"
Mungkin kalimat tanya biasa, selanjutnya marah karena saya telah mengajak cucunya terjun dengan piring-piring, gelas, sabun, air. Namanya anak-anak, yang basah bukan saja perabotan, bajunya pun penuh dengan sabun dan air. Namun, kami senang, tertawa-tawa, seolah-olah basah suatu lelucon.
"Cah cilik dikongkon isah-isah!" ujarnya lagi kepada saya.
"Anak kecil disuruh nyuci piring!"
Kalau sudah begitu jangan diberi penjelasan. Pada umumnya seorang nenek akan lebih sayang pada cucunya daripada anaknya sendiri dulu.
Ini hanya contoh cara orang tua sekarang mendidik anak dalam hal pekerjaan rumah. Walaupun tidak menutup kemungkinan masih ada orang tua yang melibatkan anak-anak dalam urusan kerumahtanggaan.
Seperti yang saya lakukan kepada anak-anak. Walaupun mertua terkesan tidak setuju. Dengan pendekatan, dia akhirnya, "Sakarepmu lah" dan ibu mertua akan diam jika anak-anak pegang sapu atau perlengkapan pawon.
Baca juga Bagaimana Jika Anak Melakukan Kesalahan?
Manfaat anak belajar urusan kerumahtanggaan sejak dini
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, orang tua jaman dahulu tidak belajar parenting dalam mendidik anak-anaknya. mengajari ilmu kerumahtanggaan sesuai kebiasaan. Mereka juga tidak membaca beberapa hasil penelitian para ilmuwan. Dari kebiasaan saya membantu orang tua, ternyata banyak manfaatnya. Di antaranya :
1. Mandiri
Dengan melibatkan anak-anak ke pekerjaan rumah, secara tidak langsung kita melatih mereka untuk mandiri. Kita ingat, selamanya orang tua tidak bersama mereka. Kadang kita harus ke luar kota atau lebih tragis lagi jika sakit. Ya ... mungkin ada asisten rumah tangga. Namun, tidak semua keinginan, kebutuhan bisa dipenuhi seorang asisten dan tidak semua orang dapat membayar seorang asisten.Â
2. Tanggung jawab
Sikap tanggung jawab pada anak tidak bisa tumbuh dengan sendirinya, harus ada pembelajaran dan latihan. Salah satunya dengan memberi tugas di rumah. Jika sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah, anak tidak akan membiarkan orang lain melakukannya. Pekerjaannya ya harus dikerjakan sendiri, bagaimanapun hasilnya
3. Kebersamaan
Setiap hari, anak-anak sibuk dengan pekerjaan sekolahnya, orang tua sibuk dengan pekerjaan kantor. Dengan menyempatkan waktu melakukan pekerjaan rumah akan meningkatkan kebersamaan. Walaupun tidak setiap hari, minimal hari Sabtu dan Minggu seluruh anggota keluarga bersama dalam satu kegiatan di rumah. Dengan kebersamaan, juga menciptakan keluarga sehat.
4. Kebahagian
Saat bersama melakukan pekerjaan bersama ada kebahagian, sesama anggota keluarga bisa saling bercanda, ngobrol, walaupun terkadang obrolan itu tidak bermakna. Namun, interaksi yang hangat akan menimbulkan kebahagian.
Dalam sebuah penelitian besar, yang saya kutip dari psychologytoday.com. Para peneliti menyimpulkan bahwa anak-anak yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk membantu keluarga mereka melaporkan perasaan bahagia yang lebih besar daripada mereka yang tidak banyak membantu.
5. Kesuksesan
Anak-anak yang terbiasa melakukan pekerjaan rumah, di masa depan akan sukses, hal ini karena mereka bisa menyesuaikan diri saat dewasa. Mereka memiliki hubungan yang baik dengan teman dan keluarga, dalam karier pun mereka lebih sukses.
Masih banyak lagi manfaat jika kita melibatkan anak-anak dalam pekerjaan kerumahtanggaan. Yang jadi pertanyaan, bagaimana mengajak anak melakukannya? Sementara kadang anak menolak dengan berbagai alasan.
Baca juga Katakan Tidak pada Anak
Kita harus memakai strategi khusus supaya anak tidak menolak dan ikhlas melakukan pekerjaan rumah
Pertama. Pastikan tugas rumah itu bermanfaat bagi keluarga
Ketika anak-anak masih usia sekolah dasar, saya menghindari anak-anak melakukan pekerjaan di depan kompor. Selain berbahaya, anak-anak sering membuat kekacauan. Berteriak jika ada cipratan minyak, bersin-bersin jika menggoreng sambel. Jika melibatkan anak-anak di dapur, mereka hanya melakukan pekerjaan ringan, seperti mencuci sayuran, membereskan meja makan.
Dalam pekerjaan rumah, kita harus menurunkan standar sesuai kemampuan anak sama halnya dengan belajar pelajaran sekolah, mulai dari yang mudah dulu sesuai usianya.
Kedua. Tidak perlu membayar anak-anak dengan melakukan pekerjaan rutin
Saya sering mendengar, orang tua mengeluh ketika harus menyuruh anaknya membeli garam ke warung. Alih-alih dapat ngirit tenaga dan uang, malah jebol, karena upahnya lebih besar dari harga garam.
Kita bisa mengatakan bahwa anak bagian dari keluarga di mana ada pertukaran kerja, saling membantu yang adil. Orang tua juga tidak meminta bayaran ketika harus mengantar anak ke sekolah
Jika kita ingin memberi penghargaan, sah-sah saja, tetapi dalam bentuk lain, misalnya, ucapan terima kasih, kecupan, mengajaknya jalan-jalan ke taman, menggambar, bernyanyi dan sebagainya.
Ketiga. Kolaborasi dan meminta pertanggungjawaban
Diskusi bareng membahas tugas kerumahtanggaan, biasanya saya melakukannya saat malam hari. Membagi tugas siapa yang akan menutup pagar menjelang sore hari, siapa yang akan mencuci motor besok pagi, menyiram tanaman. Dalam diskusi beri kesempatan anak untuk bersuara.
Setelah pembagian tugas dalam keluarga, orang tua juga perlu meminta pertanggungjawaban atas pekerjaan rumah, karena akan membentuk keterampilan anak-anak. Namun, kita juga membutuhkan seni, bagaimana mengatur anak tanpa menindas.Â
Ketika anak lalai, kita wajib mengingatkan, misalnya anak tidak menjemur handuk basah, tidak membuang sampah ke keranjang. Untuk mengajari anak masalah ini tidak membutuhkan waktu lama, tetapi, menerapkan kebisaan membutuhkan kesabaran dan ketelatenan.
Sangat penting kita mengajarkan pekerjaan rumah tangga kepada anak sejak dini. Suatu saat anak akan merasa beruntung dan berterima kasih, seperti halnya kita sekarang.
Baca juga 3 Kali Ganti Asisten Rumah Tangga, Berikut Pengalaman Saya
Terinspirasi dari 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H