Aku perlahan mendekat, lebih dekat, sembari memandang penuh kerinduan, tetapi sosok yang aku rindukan itu hilang. Aku teriak memanggilnya. "Mimi, Mimi di mana, ayooo pulang!"
Aku terjaga dari tidur. Entahlah, mimpi seperti ini sudah berapa kali. Setelah ibuku tiada, hampir setiap hari aku mimpi bertemu dengannya dan diakhiri dengan teriakan dan tangisan. Biasanya anak-anak atau suamiku selalu ada, memeluk kala  terjaga dari mimpi.
Hari ini kamar itu gelap, tak ada seorang pun yang mendekat, baik anak-anak atau suamiku.
Teringat peristiwa di bulan Ramadan, sebelum, Ibuku dipanggil yang Maha Pemberi Napas.
Awal Ramadan 2021
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara video call dari adikku, suaranya parau, wajahnya tampak gelisah,
"Teh, ... Mimi sakit, dari hasil antigen, positif covid, dari puskesmas harus rujuk ke rumah sakit untuk isolasi."Â
Aku berusaha tenang, padahal hatiku juga gelisah. Ibu kami, dengan panggilan kesayangannya Mimi, ternyata terinfeksi virus corona.
Telepon yang ada digenggaman adik, beralih ke tangan Mimi, wajah itu pucat, tangannya mengusap air mata, suaranya kecil,
"Teh, maafkan Mimi ya, Mimi mau isolasi, karena ingin sembuh, ingin bertemu dengan cucu, lebaran kita bisa berkumpul."
Aku tak kuasa menahan air mata. "Mimi maafkan aku ya, tidak bisa menjaga Mimi, aku pulang sekarang, Mimi yang tenang, Insya Allah sembuh."
Mimi mengelus dada, tangannya yang keriput menunjuk hidung. Aku tahu Mimi sudah terasa sesak, tidak bisa lagi berbicara, pertolongan oksigen harus segera. Adikku kembali berbicara dan menyuruh Mimi istirahat.
"Teh, jangan mudik, percuma juga, jauh-jauh, tetap tidak bisa menunggu Mimi di rumah sakit, percayakan kepada perawat saja, setiap hari biar aku ke rumah sakit yang memantau perkembangan Mimi," ujar adikku.
Namun, aku tak peduli. Segera aku tes antigen dan beli tiket kereta menuju Cirebon.
Kereta malamÂ
Kereta itu kosong, tidak banyak penumpang, terasa sempit bagiku. Tak ada teman untuk berbagi cerita, karena aku pulang sendiri, suami menjaga anak-anak di rumah. Dia berjanji akan segera menyusul bersama anak-anak.
Tepat pukul 02.09 WIB, aku turun dari kereta dan adik laki-laki sudah berada di stasiun Kejaksan. Tiga puluh menit perjalanan menuju rumah Mimi, tak ada yang bicara. Kami hanyut dalam lamunan masing-masing.
Pagi hari, aku datang ke rumah sakit bersama adik-adik, sepanjang kaki melangkah terasa goyah. Melewati setiap lorong rumah sakit terasa menakutkan, entahlah, tiba-tiba perasaan itu muncul.
Melalui layar monitor aku menyaksikan Mimi terbaring lemas, setelah meminta izin petugas untuk berbicara melalui video call, handphone itu sengaja dibawa Mimi.
Mimi mengusap layar handphone, kami bergantian memberi semangat dan doa, Mimi hanya mengusap air mata, sesekali tangannya melambai.
"Aku ada di sini setiap hari, sabar ya Mi, semangat, besok kita berkumpul lagi, Insya Allah sembuh." Mimi hanya menganggukkan kepala, Adik-adik menangis. Aku tak tahan melihat itu,
Aku berusaha melakukan negosiasi untuk bisa menemani Mimi di dalam, tetapi, tidak dikabulkan. Semakin sedih, saat seorang ibu sakit, anaknya hanya bisa menonton di balik monitor.
Lima hari ada di ruang perawatan, Mimi dilarikan ke ruang ICU karena semakin sesak. Dokter pun mulai memberi perintah untuk mencari plasma konvalesen ke PMI. Kami, teman-teman semua mencari donor plasma. Hari ke enam di ruang ICU donor pertama baru aku dapatkan.
Selama sepuluh hari dari pagi hingga waktunya buka puasa aku berada di ruang tunggu ICU. Pagi, siang sore, aku menengok Mimi di balik monitor, terkadang memandang dari balik kaca bening dan tebal. Tepat berada di samping badan Mimi.
Empat belas hari kemudian
Tepat di hari ke-14 dirawat, hari Minggu, saatnya pemberian plasma konvalesen kedua. Aku sudah merasa bahagia, karena saturasi Mimi sudah naik menjadi 98 yang sebelumnya 75.
Selepas salat Magrib, bersama kedua adikku menuju ruang ICU, tiba-tiba perawat mengatakan,
"Teteh, Ibunya drop, plasma belum bisa kami berikan. Ini lagi diusahakan, semoga  sebelum pukul delapan malam, keadaan Ibu tambah baik," ujar perawat.
"Tadi pagi katanya baik-baik saja, sudah naik di angka 98, kenapa jadi drop, Pak?"
"Iya Teh, bahkan Mimi bilang ingin pulang saja. Sore tadi turun di angka 65."
Ruang ICU kembali hening. Aku masih melihat Mimi dari monitor, sesekali masuk ke ruangan kosong sebelah Mimi dirawat.
Tidak bisa mengelus, tetapi, mataku tertuju tajam ke arah mata Mimi yang berkedip-kedip.
Dalam keadaan panik, aku berkata,
"Ada perawat di dalam ruang, bisa bicara sama Mimi, semoga bisa memberi semangat, Pak!" pintaku kepada perawat laki-laki.
"Boleh, Ibunya dalam keadaan sadar terus, hanya sesak saja,"
Sebelum memberikan pesawat telepon. Perawat itu bicara dengan perawat yang ada di ruangan Mimi.
"Aa ... speaker simpan di telinga si Ibu, ini anaknya mau ngomong."
Mataku masih menatap Mimi dari balik kaca putih dan tebal. Speaker kecil didekatkan perawat ke mulutku, "Silakan bicara Teh! aku pegang teleponnya."
"Mi, semangat ya, besok kita pulang, maafin Teteh dan adik-adik ya, gak bisa, merawat Mimi."
"Teteh, bacakan tahlil ya, napas Ibu sudah berat, tuntun Ibu, pegang ini teleponnya!"
Tiba-tiba, perawat yang ada di samping memberi perintah yang sangat mengagetkan. Air mataku membanjiri seluruh permukaan wajah, tetapi suaraku masih keluar keras. Sementara adik laki-laki yang satu sudah lemas tanpa suara di dekat kakiku.
Aku dan adik bungsu membacakan tahlil dengan air mata, La Illaha Illallah, La Illaha Illallah, La Illaha Illallah
Beberapa menit kemudian, "Sudah, Teh, pinjem teleponnya. Ibu telah meninggal!" telepon itu diminta perawat kembali. Setelah beberapa detik, selang infus dan oksigen mulai dilepas dari hidung Mimi.
Aku berlari ke luar ruangan ICU. Menangis sekuat-kuatnya.Â
Adik-adikku memeluk erat. Apa yang bisa kami lakukan saat itu selain menangis. Ketika sudah mulai tenang. Pak Satpam dan suster berdiri di hadapan kami.
"Kalian bisa menyaksikan pemulasaraan jenazah Ibu dari balik kaca. Setelah itu silakan disalatkan, Kita tunggu Pak Modin rumah sakit dulu ya."
Kami mengangguk seraya mengambil air wudu yang ada di ruang perawat. Sembari menunggu Pak Modin, kami membaca Al-Qur'an dan tahlil di depan ruang ICU.
Pahlawanku lepas dari dekapan
Peristiwa ini sangat menampar pipiku dan seluruh keluarga. Mimi tidak pernah sakit parah. Sebelumnya bahkan sehat dan ngobrol seperti biasanya. Aku baru sadar ada firasat satu bulan sebelumnya, Mimi pernah bercerita,
"Teh, katanya yang meninggal kena covid, infus tidak dicopoti, tidak disalatkan."
"Jangan percaya, Mi, itu hoak!"
"Tapi Mimi takut seperti itu," ujarnya.
Tanganku masih mengurut kakinya.
"Nanti, aku akan pastikan Mimi tidak seperti itu, aku sendiri yang akan mensalatkan Mimi."
Ternyata itu terjadi, sekarang aku ada di hadapan jenazah Mimi dengan sekat kaca dan mensalatkan bersama adik-adik.
Kuasa Allah, dua jam setelah kami mensalatkan di ruang ICU. Mobil jenazah pun tiba di depan rumah kami dihadapkan ke arah kiblat. Petugas ambulan membuka seluruh kaca dan pintu. Warga pun segera berbaris menghadap untuk mensalatkan dan membaca tahlil.
Semoga Husnul Khatimah, Insya Allah kebaikan-kebaikan Mimi akan kami teruskan. Mimi pahlawan kami. Dia berjuang selama hidupnya untuk kesehatan kami.Â
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H