Pertama kali tinggal di desa, saya sering terkejut dengan sapaan seseorang. Dia selalu menegur saya dengan satu kata sembari tersenyum aneh, "Weleh-weleh."
Suami bilang, "Jawab saja, dia mengalami depresi sejak kecil."
Saya jawab, seperti saya menyapa orang lain pada umumnya, walaupun tidak mendapat jawaban tepat, "Arep neng endi, koe?"
Hingga anak-anak saya lahir dan besar, sapaan menjadi bertambah, "Weleh, weleh, anake endi?"
Anak-anak saya pun, sering teriak memanggil namanya dengan tambahan "weleh, weleh". Bukan ledekan, karena tidak semua orang disapanya.
Akhir-akhir ini, seorang gadis sering masuk ke pekarangan rumah dengan membawa kresek besar. Dia memetik buah lengkeng dengan tenangnya. Tidak masalah, jika berbuah, pada akhirnya saya pun akan membagikan hasil panen kepada tetangga.
Namun, sayang, tak pernah niat itu terlaksana, karena sudah habis duluan dipanen sang gadis desa itu dan kelelawar. Â Yang menjadi perhatian saya, gadis itu mengalami depresi. Menurut suami, dia depresi setelah usia remaja.
Baca juga Anak Mengalami Social Anxiety Disorder, Berikut Cara Mengatasinya!
Beberapa bulan lalu, warga dikejutkan oleh amukan seorang remaja. Menurut desas-desus, dia mengalami depresi setelah lulus kuliah. Penyebabnya pun saya tidak tahu.
Saya pendatang di desa ini, jadi tidak tahu persis bagaimana kehidupan mereka pada masa kecil. Menurut suami, masa kecil mereka biasa saja, tidak ada kejanggalan, tidak ada gejala.
Berbicara kesehatan mental pada anak-anak dan remaja, di Indonesia masih tergolong banyak. Mengacu pada sebuah Riset Kesehatan Dasar 2018 yang ditulis di laman kemenkes, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih 15 tahun mengalami depresi.
Kita juga mungkin menyadari, dua tahun terakhir ini, pandemi telah membawa perubahan. Banyak orang mengalami penurunan kesehatan, baik fisik maupun mental. Penurunan kesehatan bisa terjadi pada siapa saja, usia berapa saja.
Apa itu kesehatan mental?
WHO menjelaskan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi di mana individu memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.
Dari pengertian tersebut, sangat jelas jika kesehatan mental perlu diperhatikan sama seperti kesehatan fisik. Ketika mengalami gangguan, keduanya perlu penanganan dari dokter dan psikolog.
Gangguan kesehatan mental di masyarakat sering dikaitkan dengan makhluk gaib, kesurupan, sehingga pengobatannya pun dengan ritual. Bagi yang percaya, tidak masalah, tetapi, sekarang kita harus memahami gangguan kesehatan mental, erat dengan kecemasan tinggi. Kecemasan bisa terjadi pada siapa saja, bahkan anak-anak dan remaja.
Kesehatan mental pada anak-anak dan remaja
Kita mungkin berpikir anak-anak tidak akan mengalami stres, karena dunia mereka adalah bebas dari pikiran. Dugaan tersebut tentu salah, bagi sebagian anak, merasa tidak nyaman di sekolah saja merasa stres. Ada masalah dengan temannya, terlalu ditekan orang tua, juga bisa menyebabkan stres.
Kita, sebagai orang tua perlu  memperhatikan keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental anak-anak.
Menurut sumber psychologytoday.com, ada 4 tanda-tanda yang ditunjukkan anak ketika mengalami gangguan kecemasan tinggi.
1. Perubahan suasana hati
Hati seseorang mungkin tidak bisa diterka. Namun, kita bisa melihat dari perubahan si anak. Perubahan itu seperti, anak menjadi lebih mudah tersinggung atau marah. Mereka kewalahan, stres , cemas, atau depresi.
2. Perubahan kepribadian
Kepribadian anak yang lebih tahu adalah orang tuanya. Kita bisa memperhatikan perubahan cara anak bersosial. Misalnya, anak biasanya sangat sosial tetapi tiba-tiba berubah menjadi lebih pendiam.
3. Perubahan fisik
Ketika anak mulai cemas dia akan mengeluh sakit kepala, sakit perut. Kita juga bisa perhatikan jam tidur anak, misalnya, tidur lebih banyak atau kurang tidur. Perubahan nafsu makan adalah sinyal umum terjadinya kecemasan.
4. Masalah interpersonal
Kita bisa perhatikan perubahan interaksi anak dengan teman-temannya atau keluarga di rumah. Anak lebih sering menyendiri, melamun di keramaian atau saat bersama keluarga. Di sini orang tua harus peka perubahan anak.
Jika anak mengalami tanda-tanda di atas, orang tua perlu mengambil tindakan. Angela Koreth, MS, LPC-S , dan Elyse Virginia Miller Caballaro, LPC, seorang terapis, menyarankan dua hal, lakukan dan larangan
- Lakukan
Orang tua bisa mendorong anak untuk istirahat, makan dengan baik, olahraga, keluar rumah, pergi terapi , berlatih perawatan diri.
- Larangan
Orang tua bisa membantu anak untuk tidak tidur sepanjang hari, menonton TV atau bermain video game sepanjang hari, menghindari sumber kecemasan.Â
Tugas kita sebagai orang tua, tentu mempersiapkan anak-anak meghadapi dunia di luar rumah. Untuk itu penting bagi kita mendorong remaja menjaga kesehatan mentalnya. Kita juga harus siap mendengarkan jika anak-anak  mengadvokasi mereka sendiri.
Salam sehat selalu
Baca juga :Â Mengatasi Depresi pada Remaja
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H