Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orangtua Kehilangan "The Power of No" pada Anak, Berikut Strategi yang Bisa Diterapkan

16 September 2021   14:36 Diperbarui: 16 September 2021   21:15 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang tua yang melarang anaknya | Sumber: Wholeparent via grid.id

The power of no, akhir-akhir ini sebagian orangtua banyak kehilangan kekuatan kata "tidak" atas permintaan anaknya. Entah karena pekerjaan yang menumpuk atau rasa lelah.

Ketika anaknya meminta sesuatu, jawabannya selalu iya, mungkin juga termasuk saya. Saya terkadang berpikir "permintaan sepele, kenapa tidak?"

Di sisi lain selalu mengabulkan permintaan anak akan berdampak tidak baik. Anak-anak seperti ada dalam lingkaran zona nyaman, serba mudah. Pada saat dewasa dia tidak bisa menyelesaikan masalahnya.

Orangtua serba salah jika selalu mengabulkan permintaan anak akan berdampak negatif. Jika sering mengatakan "tidak", senjata ini tidak akan memiliki pengaruh bagi anak-anak.

Baca juga Jangan Ngomel jika Anak Menutup Telinga saat Dikoreksi

Ilustrasi orangtua mengatakan tidak pada anaknya | Sumber: istockphoto
Ilustrasi orangtua mengatakan tidak pada anaknya | Sumber: istockphoto

Apakah Orangtua perlu mengatakan "tidak" kepada anaknya?

Ketika anak bungsu saya berusia 5 tahun, dia hampir setiap hari minta dibelikan mainan karena sekolahnya bersebelahan dengan toko mainan. 

Setiap jam pulang sekolah, toko itu pun ramai dikunjungi anak-anak. Anak-anak dibombardir dengan kata "beli", baik secara langsung maupun halus. 

Selain rentetan nama merek yang mudah diingat, anak-anak juga disodorkan jenis mainan yang menarik.

Dengan permintaan yang nyaris sama setiap harinya, apakah orangtua bisa mengatakan "tidak"?

Kalau kita mengingat masa kecil dulu, ada pedagang mainan yang menjajakan dagangannya dengan kata-kata "sayang anak, sayang anak".

Itu juga yang dilakukan sebagian orangtua, dengan alasan sayang anak, the power of no semakin melemah.

David J. Bredehoft, Ph.D., seorang psikolog khusus pernikahan dan keluarga di laman psychologytoday mengatakan, "Orangtua seharusnya tidak mengatakan "tidak" untuk semua yang diminta anak, tetapi mereka harus mengatakan "tidak" ketika itu benar-benar perlu dikatakan."

Temukan kata "tidak" yang tepat

Anak kecil ketika merengek, menangis meminta sesuatu, ayah bunda tentu ingin mengatakan "tidak", apalagi saat akhir bulan belum gajian. 

Akan tetapi, menurut para ahli dan psikolog anak, terlalu sering melarang anak dengan kata "tidak dan jangan" bisa berdampak negatif, anak-anak akan kebal terhadap larangan.

Orang dewasa pun terlalu sering mengatakan "tidak" tentu akan merasa bosan apalagi anak. Untuk menghindari hal-hal seperti itu, tidak ada salahnya kita menerapkan dua strategi berikut :

Pertama, menggunakan kalimat positif

Terinsipirasi dari artikel Pak Cah tentang Hemingway, seorang penulis yang selalu menggunakan kalimat positif dalam novelnya. 

Kata "tidak" menurut Hemingway sangat menyakitkan, sebuah penolakan keras. 

Kita bisa menerapkan gaya Hemingway dalam menolak permintaan anak, supaya tidak menyakiti hatinya. Kalimat positif untuk mengganti kata "tidak" akan lebih halus daripada kata "tidak".

Misalnya, "Tidak boleh beli mainan, De!" Ini termasuk kalimat negatif.

Jika diubah ke kalimat positif, kita bisa mengatakan, "Beli mainannya ditunda dulu ya, De!

Ilustrasi orangtua yang memberi penjelasan kepada anaknya | Sumber:  alodokter.com
Ilustrasi orangtua yang memberi penjelasan kepada anaknya | Sumber:  alodokter.com

Kedua, menggunakan penjelasan

Setelah kita memberi kalimat positif, biasanya anak-anak akan terus bertanya, alasan kita melarang. Hindari mantra, "Pokoknya tidak!"

Mantra itu tidak mengandung penjelasan, akibatnya anak akan penasaran bahkan bisa saja melanggar larangan. 

Cara anak melanggar adalah dengan menangis, mengamuk di toko mainan supaya orangtua mengabulkan keinginannya.

Kalimat penjelasan, kita bisa mengatakan manfaat dan dampak buruk dari menumpuk mainan yang diinginkan anak-anak. 

Kita juga bisa menjelaskan alasan mengapa tidak sering membeli mainan. Beli mainan boleh saja, tetapi tidak setiap hari.

Orangtua sebenarnya memiliki naluri bagaimana mendidik, menolak, menyayangi anak-anak dengan cinta. 

Strategi di atas sebagai pengingat, tidak selamanya benar, tetapi tidak juga salah.

Salam bahagia penuh cinta,

Sri Rohmatiah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun