Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"Not Labelling" pada Anak yang Alami Berat Badan Berlebih, Berikut Efek dan Solusinya!

12 September 2021   08:20 Diperbarui: 12 September 2021   13:29 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak dengan obesitas, foto dokumen theAsianparent.com

Anak-anak yang memiliki berat badan lebih, sering kali mendapat label Endut. Mungkin itu hanya sebuah lelucon. Apapun maksudnya, tetap bukan panggilan yang enak bagi anak dan orangtuanya. 

Seperti yang dialami salah satu keponakan saya. Ketika usia taman kanak-kanak dia tidak gendut, berat badannya stabil, tetapi sejak kelas 3 sekolah dasar pertumbuhannya begitu cepat. Dia menjelma menjadi anak yang super gendut. Panggilan Mas Gendut pun melekat hingga dewasa.

Berbeda lagi dengan kisah yang dialami anak bujang saya. Ketika awal pandemi, semua kegiatan olahraganya terhenti, klub olahraga tutup sementara. Anak-anak di rumah panik jika tidak ada stok makanan dan cemilan.

Saat itu, saya baru selesai mengikuti pelatihan membuat aneka jenis roti, setiap hari membuat pizza, cake. Anak bujang suka saja dengan makanan itu. Dia bahkan berpikir cemilan bukan sejenis keripik, tetapi, roti, mie, cake, pizza. Pernah suatu hari dia minta cemilan setelah makan soto. Saya memberinya waffer.

"Cemilan itu pizza, mie goreng, Mah," ujarnya malu-malu.

Setelah dua pekan, saya melihat perubahan tubuh anak bujang, perutnya mulai berlipat-lipat, lengannya dipenuhi lemak. Sebelum dia mendapat cemooh karena endut, saya membuat strategi baru perihal pola makannya.

Baca juga Strategi Time Out pada Anak

Ilustrasi anak dengan obesitas, foto dokumen theAsianparent.com
Ilustrasi anak dengan obesitas, foto dokumen theAsianparent.com

Stigma dan penolakan kepada anak gendut

Anak yang kelebihan berat badan sering kali diejek dan dikeluarkan dari kegiatan olahraga. Alasannya sepele, "Lambat dalam gerakan." Prasangka terhadap anak gendut terjadi pada semua usia, bahkan sejak taman kanak-kanak. Mereka sering mendapat pelecehan verbal oleh teman sekelasnya.

Stigma terhadap anak yang kelebihan berat badan tidak berhenti di situ saja. Mereka juga sering mendapat penolakan ketika ada temannya yang ulang tahun. Mungkin tuan rumah khawatir makanan akan disikat oleh anak gendut.

Berbeda kisah, jika yang mengalami kelebihan berat badan seorang remaja putri. Sebuah artikel yang ditulis di laman Psychology today, mengatakan, "Dalam sebuah studi ditemukan, remaja yang gendut akan kesulitan mendapat pacar."

Walaupun studi tersebut tidak 100 persen benar, kita juga sering menemukan status jomblowati diperoleh gadis gendut. Laki-laki mungkin akan berpikir, membiayai pacar gendut lebih berat daripada berat badannya. 

Nyatanya orang kurus juga banyak yang kesulitan mendapatkan pacar. Salah satunya saya. Saya bukan remaja endut pada zamannya, tetapi sulit juga dapat pacar, hehehe... becanda, yang merasa mantan jangan tersenyum, saya gak lihat ko.

Daftar penghinaan dan stigma bagi anak obesitas tidak akan ada habisnya. Akan sangat panjang jika diuraikan. Orang dewasa harusnya berperan untuk menghentikan prasangka dan pengucilan terhadap anak gendut.

Baca juga Cara Mendorong Anak untuk Mencatat dengan Tangan

Ilustrasi anak yang ogendut, perutnya berlipat. Foto: Freepik/kwanchaichaiudom via nakita.grid.id
Ilustrasi anak yang ogendut, perutnya berlipat. Foto: Freepik/kwanchaichaiudom via nakita.grid.id

Peran orang dewasa terhadap anak gendut

Anak yang mengalami kelebihan berat badan, biasanya mereka tidak mengadu kepada orangtua jika mendapat penghinaan. Orangtua pun tidak tahu, tetapi kita bisa mengenali gejalanya. 

Gejalanya adalah anak akan berdiam diri di rumah, dia tidak mau berteman dengan anak seusianya, menghabiskan waktu di rumah, menonton televisi, main game, rebahan, menghibur diri dengan makan cemilan.

Stigma dan rasa malu yang dialami anak dengan berat badan berlebih adalah kenyataan. Kita bisa membantu mereka dengan beberapa hal berikut:

Pertama, memberi dorongan untuk beraktivitas

Sebelum anak gendut terjerumus lebih dalam ke jurang tidak nyaman, kita bisa mendorong dia melakukan aktivitas yang bisa menurunkan berat badannya. Salah satunya bisa dengan olahraga ringan sebelum pergi ke sekolah.

Selain itu kita juga bisa memberi semangat anak untuk bersosialisasi di sekolah, misalnya ikut kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya.

Jika anak gendut mogok, masih tidak mau bersosial di sekolah, dengarkan keluhannya, ekspresikan bahwa kita peduli dengan ceritanya. Setelah semuanya tenang, kita bisa memberi pemahaman bahwa anak yang membully sebenarnya dia tidak memiliki kemampuan sehingga dengan mengejek, dia berharap bisa lebih dikenal, lebih popular.

Kedua, mengubah pola makan menjadi lebih sehat

Anak yang sudah terlanjur kelebihan berat badan, akan sulit jika harus diet. Lagi pula diet ketat tidak baik untuk pertumbuhan anak. Namun, kelebihan berat badan juga tidak baik untuk kesehatannya. Kita tidak perlu menerapkan diet pada anak-anak, cukup lakukan perubahan sedikit saja, yakni dengan pola hidup yang lebih sehat.

Cara menjalani hidup sehat telah banyak dibahas para pakar kesehatan, tetapi sedikit yang mempraktikkannya. Alasan mereka belum mengubah pola hidup sehat, beragam. Yang paling popular mungkin rasa kasihan melihat makanan jika tidak disantap, istilahnya eman-eman. Misalnya, ketika kakak tidak menghabiskan es krim lezat, adik akan berkata, "Eman-eman, es krimnya, adik habiskan ya."

Alasan populer lainnya adalah besarnya kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Saking sayang dan takut anak kelaparan, kita memberikan apa yang diinginkan anak, tanpa kontrol.

Ketiga, loving, not labelling

Ketika kita tahu anak mendapat celaan dari teman-temannya, orang dewasa jangan turut mencela. Saya pernah mendengar kata-kata, "Makanya makan dikurangi biar tidak dibully temanmu!" celaan dari orang sekitar terutama orang terdekat akan mengakibatkan anak stres dan melampiaskan dengan makan. 

Ilustrasi anak yang melampiaskan rasa stres terhadap makana. Foto istock via detik.com
Ilustrasi anak yang melampiaskan rasa stres terhadap makana. Foto istock via detik.com

Ikhsan Bella Persada, M.Psi, mengatakan kepada klikdokter, "Anak yang melampiaskan rasa stres akibat sering diejek cenderung mengonsumsi asupan tidak sehat, seperti makanan manis, makanan siap saji, dan minuman bersoda." Seperti yang kita ketahui semua makanan tersebut memicu kelebihan berat badan jika dikonsumsi secara terus menerus.

Istilah loving, not labelling pada anak obesitas, pertama kali harus diberikan oleh orangtuanya karena dalam pertumbuhan anak, orangtua adalah tokoh utama. Untuk itu, mari mencintai anak-anak tanpa memberi label gendut. Semoga bermanfaat.

Baca juga Temukan Alasan Anak Menutup Telinga saat Diomeli

Salam sehat selalu,Sri RohmatiahArtikel ke-252 untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun