Anak-anak yang memiliki berat badan lebih, sering kali mendapat label Endut. Mungkin itu hanya sebuah lelucon. Apapun maksudnya, tetap bukan panggilan yang enak bagi anak dan orangtuanya.Â
Seperti yang dialami salah satu keponakan saya. Ketika usia taman kanak-kanak dia tidak gendut, berat badannya stabil, tetapi sejak kelas 3 sekolah dasar pertumbuhannya begitu cepat. Dia menjelma menjadi anak yang super gendut. Panggilan Mas Gendut pun melekat hingga dewasa.
Berbeda lagi dengan kisah yang dialami anak bujang saya. Ketika awal pandemi, semua kegiatan olahraganya terhenti, klub olahraga tutup sementara. Anak-anak di rumah panik jika tidak ada stok makanan dan cemilan.
Saat itu, saya baru selesai mengikuti pelatihan membuat aneka jenis roti, setiap hari membuat pizza, cake. Anak bujang suka saja dengan makanan itu. Dia bahkan berpikir cemilan bukan sejenis keripik, tetapi, roti, mie, cake, pizza. Pernah suatu hari dia minta cemilan setelah makan soto. Saya memberinya waffer.
"Cemilan itu pizza, mie goreng, Mah," ujarnya malu-malu.
Setelah dua pekan, saya melihat perubahan tubuh anak bujang, perutnya mulai berlipat-lipat, lengannya dipenuhi lemak. Sebelum dia mendapat cemooh karena endut, saya membuat strategi baru perihal pola makannya.
Baca juga Strategi Time Out pada Anak
Stigma dan penolakan kepada anak gendut
Anak yang kelebihan berat badan sering kali diejek dan dikeluarkan dari kegiatan olahraga. Alasannya sepele, "Lambat dalam gerakan." Prasangka terhadap anak gendut terjadi pada semua usia, bahkan sejak taman kanak-kanak. Mereka sering mendapat pelecehan verbal oleh teman sekelasnya.
Stigma terhadap anak yang kelebihan berat badan tidak berhenti di situ saja. Mereka juga sering mendapat penolakan ketika ada temannya yang ulang tahun. Mungkin tuan rumah khawatir makanan akan disikat oleh anak gendut.