Kata pamit bagi saya menyedihkan, karena mengandung makna pergi selamanya dan tak pernah kembali. Itu sebabnya saya menolak menulis pamit ketika Bang Ozy bertanya, "Tidak nulis pamit, Bu."Â Namun, hari ini saya ingin menulis pamit, tetapi bukan hendak meninggalkan Kompasiana.Â
Bagi saya Kompasiana seperti rumah sendiri. Banyak hal yang harus saya lakukan untuk menghias rumah supaya indah. Jika saya belum mampu, saya bisa merawat kamar sendiri supaya nyaman.Â
Selain itu saya juga harus menjaga ukhuwah sesama warga. "Dalam dekapan ukhuwah kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi ...," kata ustadz Salim A Filah dalam bukunya.
Masa ituÂ
Menebar cinta di bumi Kompasiana, bersilaturahmi lewat tulisan, saya memulainya sejak April 2020. Sebagai warga baru tentu masih malu-malu dan malu-maluin. Sering ngumpet di balik tirai, memperhatikan aktivitas warga lain. Mau kenalan, isin. Mau negur, malu. Mau ikut gabung menulis, tidak pede.
Walaupun begitu, sebulan sekali saya coba gabung di kegiatan bersama itu, "Menulis". Setelah menjadi penulis bulanan, saya coba menulis mingguan. Setiap hari Senin mencoba posting tulisan. Sebelum klik tayang, muka saya pucat, mata saya pejamkan, membaca basmallah tujuh kali, shalawat Nabi, baru klik tayang.
Desember 2020, saya membaca artikel Pak Tjipta, judulnya " Cara Mudah Menulis One Day One Article".  Sejak saat itu, saya mulai menulis satu hari, satu artikel. Terasa berat, sirah cekot-cekot, tetapi, itu tantangan. Saya tidak mau menyerah untuk menghasilkan satu artikel dalam satu hari. Bukan demi uang, karena saya juga tidak paham kalau menulis itu bisa menghasilkan pendapatan. Saya menulis karena tertarik dan merasa perlu untuk menulis.
Kalau tiba-tiba mendapat kerewad, itu bonus, rezeki. Kata Suami, "Ya sudah, uang di sela-sela merem."Â Maksudnya setiap saya nulis selalu tertidur di samping laptop. Alhasil yang bisa tertulis cuma 300 kata, sisanya satu huruf hingga lima halaman.
Kapan sih saya menulis?
Semua orang memiliki waktu 24 jam, tidak ada yang kurang dan lebih. Dalam 24 jam, tentu banyak kesibukan yang dilakukan oleh kita, Cuma kalau saya mengatakan, sibuk. Selama ini belum ada yang percaya kalau saya sibuk, "Orang ibu rumah tangga aja, tentu banyak waktu untuk menulis,"Â kata teman online.
Ternyata benar, sejak pandemi, waktu saya banyak nganggurnya. Setelah belajar menulis di kelas Pak Cah, saya coba belajar menulis di Kompasiana. Waktu yang tepat untuk menulis saya paling suka setelah salat duha hingga menjelang duhur.
Semua waktu adalah baik, kapan saja kita bisa menulis. Tempatnya pun bebas, di mana.Â
Satu lagi yang pernah ditanyakan Mbak Yulianti, "Referensinya ko keminggris, aku gak bisa baca!"Â sama, saya juga kalau artikel keminggris gak bisa baca. Gelap aja itu tulisan, rasanya.Â
Kebetulan di lapy saya, website berbahasa Indonesia. Saya lupa, kenapa bisa bahasa Indonesia, yang jelas, tidak satu-satu di translate.
Sebagai penutup di centang hijau, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk Pak Cahyadi Takariawan beserta Bu Ida Nurlaela, Pak Tjiptadinata, Bu Roselina Tjiptadinata. beliau adalah inspirasi saya.
Saya juga ingin ucapkan makasih banyak kepada anak bujang saya, Ozy V Alandika, ups ... anak bujang emaknya. Sebelum saya memahaminya, Ozy mengatakan, "Celamaaat, contang biluuu, Bu."
Mbak Siska Artanti, Mbak Yulianti, Mak Ruri, Mak  Leni, sahabat kompasianer, sahabat di KPB, Kepo, EPK, terima kasih banyak. Kakak admin juga.
Selamat tinggal centang hijau, saya akan selalu mengenangmu karena ada 246 artikel dan 28 artikel utama yang telah membawa saya ke centang biru.
Dalam dekapan ukhuwah, kita menulis bersama di Kompasiana.
Salam cinta untuk semuanya.
Sri Rohmatiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H