"Boleh Teh." Sebelum memberikan pesawat telepon. Perawat itu bicara dengan perawat yang ada di ruangan Mimi.
"Aa ... speaker simpan di telinga si Ibu, ini anaknya mau ngomong."
Mataku masih menatap Mimi dari balik kaca putih dan tebal.
"Mi, semangat ya, besok kita pulang, maafin Ade dan adik-adik ya, gak bisa elus, merawat Mimi."
"Teteh, bacakan tahlil ya, napas Mimi sudah berat, tuntun Mimi!"
Tiba-tiba, perawat yang ada di samping memberi perintah yang sangat mengagetkan. Itu tandanya Mimi akan segera menghembuskan napas terakhirnya.
Aku dan adik-adik membacakan tahlil dengan air mata membanjiri seluruh permukaan wajah.
"Sudah, Teh!" Speaker itu diminta perawat kembali setelah beberapa menit.
Aku berlari ke luar ruangan ICU. Menangis sekuat-kuatnya. Percis seperti dalam mimpi tadi.
Mimpi itu bukan sekali saja. Aku masih sering bermimpi berada di rumah sakit. Lorong-lorong itu tempat aku berlari-lari mencari tahu kabar terbaru Mimi.
Sudah hampir 100 hari meninggalnya Mimi, tetapi, sesak masih terasa di dada. Bukan tidak ikhlas menerima kematian yang ditetapkan Tuhan.