Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Covid-19 Telah Merenggut Nyawa Ibu, Berikut Sekelumit Kisahnya

18 Juli 2021   15:45 Diperbarui: 21 Juli 2021   01:53 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemakaman/foto Sri Rohmatiah

"Hayu, Teh, Mimi sudah boleh pulang hari ini," ujar adik laki-laki seraya menggandeng tanganku.

Ruang perawat itu sepi, hanya ada beberapa orang yang sibuk dengan buku dan laptopnya.

"Bener pulang, sudah sembuh dong Mimi, hasilnya negatif?" tanyaku.

"Gak tahu, pokoknya boleh pulang," ujar adikku, kali ini lebih tegas.

"Masuk duluan, aku balik ke mobil, siapkan tempatnya dulu buat Mimi."

Aku berjalan kembali ke parkiran, tetapi dari arah belakang terdengar suara Mimi.

"De, Mimi di sini, jangan lupa pisang hijaunya beli ya!"

Aku menoleh.

"Jangan beli, lupa, ternyata masih ada, De, sini saja!" sahut Mimi lagi.

Aku mendekati Mimi yang duduk di kursi roda memakai baju putih ada warna hijaunya seperti baju pengunjung pasien rumah sakit.
Seorang perawat berdiri di belakang kursi roda itu.

Aku perlahan mendekat, tetapi sosok Mimi hilang.
"Mimi, Mimi, Mimi ..."
Aku menjerit memanggil Mimi. Dada sesak menahan tangis.
Tenggorokanku makin sesak, tak kuat, pecahlah tangisku sambil memanggil, "Mimi, Mimi di mana, ayooo pulang."

Aku menangis semakin menjadi, tetapi, tak ada yang mendekat termasuk adikku yang tadi menggandeng tanganku.

Kaki kejang, tak ada yang menolong, hingga jeritan terakhir, "Mimii ...."

Mataku terbuka. Aku berada di kamar tamu sendirian. Badanku terasa kaku, mataku basah, hidungku mampet.

Mimi sudah dipanggil Allah pada saat Ramadan. Rumah sakit yang ada dalam mimpi itu tempat Mimi menghembuskan napas terakhir.

Aku masih ingat dan tak akan pernah lupa ketika plasma kedua akan dimasukkan, Mimi drop.

"Teteh, Miminya drop, kami lagi usahakan sebelum pukul 8 malam, keadaan Mimi tambah baik," ujar perawat.

"Tadi pagi katanya baik-baik saja, sudah naik di angka 97."

"Iya Teh, bahkan Mimi bilang ingin pulang saja. Sore tadi turun di angka 65."

Ruang dokter di ICU kembali hening. Aku masih melihat Mimi dari monitor sesekali masuk ke ruangan kosong sebelah Mimi dirawat.

Tidak bisa mengelus, tetapi, mataku tertuju tajam ke arah mata Mimi yang berkedip-kedip.

"Ada perawat di dalam ruang, bisa bicara sama Mimi pakai speker, Aa!" pintaku kepada perawat laki-laki.

"Boleh Teh." Sebelum memberikan pesawat telepon. Perawat itu bicara dengan perawat yang ada di ruangan Mimi.

"Aa ... speaker simpan di telinga si Ibu, ini anaknya mau ngomong."

Mataku masih menatap Mimi dari balik kaca putih dan tebal.

"Mi, semangat ya, besok kita pulang, maafin Ade dan adik-adik ya, gak bisa elus, merawat Mimi."

"Teteh, bacakan tahlil ya, napas Mimi sudah berat, tuntun Mimi!"

Tiba-tiba, perawat yang ada di samping memberi perintah yang sangat mengagetkan. Itu tandanya Mimi akan segera menghembuskan napas terakhirnya.

Aku dan adik-adik membacakan tahlil dengan air mata membanjiri seluruh permukaan wajah.

"Sudah, Teh!" Speaker itu diminta perawat kembali setelah beberapa menit.

Aku berlari ke luar ruangan ICU. Menangis sekuat-kuatnya. Percis seperti dalam mimpi tadi.

Mimpi itu bukan sekali saja. Aku masih sering bermimpi berada di rumah sakit. Lorong-lorong itu tempat aku berlari-lari mencari tahu kabar terbaru Mimi.

Sudah hampir 100 hari meninggalnya Mimi, tetapi, sesak masih terasa di dada. Bukan tidak ikhlas menerima kematian yang ditetapkan Tuhan.

Aku merasa trauma dengan pandemi yang telah memisahkan Mimi dari anak-anaknya, cucu-cucunya.

Sepuluh hari sebelum isolasi, Mimi masih sehat. Kami bercanda, foto-foto, makan-makan, masak bareng di dapur. Tidak ada tanda-tanda sakit.

Setelah Mimi isolasi, kami semua tes antigen dan semua dinyatakan sehat, negatif. Namun, kami sekeluarga mengalami dikucilkan, dijauhi oleh tetangga. 

"Kenapa ya Mimi positif, kita semua sehat, harusnya ada salah satu yang tertular atau menularkan?" tanya adikku.

Aku tidak mau berdebat karena bukan tenaga ahli.

"Ambil hikmahnya, mungkin ini bagian dari doa Mimi selama di rawat. Anak cucunya tidak ada yang merasakan di isolasi apalagi di ICU."

Apa yang diwariskan orang tua kepada anak-anaknya? Bukan harta tapi anak saleh. Meneruskan amal ibadah yang pernah dilakukan orang tua. Hadiahkan doa-doa dan kebaikan untuk orang tua.

Semoga mimpi itu menjadi pengingat. Kita juga akan diambil Allah Swt..

***

Mimi = Ibu

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun