"Bos, erep neng endi?"
"Bos, panen kapan?"
"Sesok aku enggonmu yo, Bos."
"Wes, ngedos urung, Bos?"
Masih banyak lagi ungkapan yang sering saya dengar ketika jalan-jalan di desa. Sapaan bos, bebas ditujukan kepada siapa saja yang dikehendaki. Mereka akan saling menyapa dengan sapaan bos.
Ternyata bos bukan saja di perusahaan besar atau kantor, di sawah pun ada istilah bos. Bos di sini bukan tuan tanah atau majikan. Semua yang garap sawah memiliki kesempatan menjadi bos.
Banyak yang menjadi petani, tetapi, tidak memiliki sawah. Mereka akan membeli tanah kepada pemilik tanah secara tahunan.
Pak Sastro warga desa, pekerjaannya serabutan. Pak Mitro seorang tuan tanah, tanahnya ada 20 petak. Untuk menggarap sawah seluas itu, Pak Mitro membutuhkan biaya yang cukup banyak. Akhirnya Pak Mitro menjual 5 petak sawahnya secara tahunan kepada Pak Sastro.
Pak Sastro dan Pak Mitro tidak bisa terjun ke sawah, mereka memiliki karyawan, di desa istilahnya buruh. Buruh-buruh memanggil keduanya dengan sebutan "Bos". Walaupun Pak Sastro, Pak Mitro atau lainnya tidak bisa garap sawah sendiri, dia harus memiliki beberapa syarat menjadi bos supaya hasil panennya melimpah.
Dari hasil jalan-jalan  ke sawah selama 18 tahun, saya menyimpulkan ada empat syarat yang harus dimiliki seorang bos sawah:
1. Rajin