Di atas pusaranya terjadi keanehan seperti amanatnya ketika hendak meninggal.
"Bila tiba saatnya nanti aku meninggal dunia dan bila kelak aku sudah dikuburkan, maka jangan heran jika terdapat suatu keanehan-keanehan pada pusaraku."Â
Di atas pusara Dewi Sri tumbuh bermacam-macam tanaman, termasuk tumbuhan yang sangat aneh dan belum diketahui namanya pada saat itu. Pusara Dewi Sri dan tanaman disekitar pusara dirawat oleh seorang kakek nenek, hingga berbuah.
Karena ketekunan si kakek selama enam bulan, tanaman aneh tersebut lama kelamaan menjadi kuning dan berisi, sehingga buah yang setangkai itu merunduk karena beratnya.
Atas izin dari dari Hiang Dewanata, pohon itu ditebang dan butiran-butiran buah ditanam kembali oleh si kakek. Hingga tanpa terasa tanaman aneh tersebut tumbuh sangat banyak dan berbuah banyak pula. Si kakek sukar membaeri nama tanaman tersebut, akhirnya dipilihlah satu nama yakni Pare. Dalam bahasa Sunda, sikap sulit mengambil keputusan disebut "Paparelean".
Kisah kakek dan nenek yang tekun merawat tanaman di pusara. Ketekunannya dan kesabarannya, bisa membuahkan hasil. Tanaman itu hingga sekarang bermanfaat dan menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia.
Kita ingat kan filosofi padi? "Semakin berisi, semakin merunduk."
Filsafah ini sudah sering kita dengar sejak kecil, maksudnya adalah kita jangan sombong, wong kita hanya manusia biasa. Semoga bermanfaat.
Sumber ceritasato.blogspot.com/2018
10 Januari 2021
Sri Rohmatiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H