Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Sri Patmi: Wajah Waktu Kirana

12 Juli 2021   00:11 Diperbarui: 12 Juli 2021   00:46 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kesendirian malamnya, ia masih tersedu menangisi nasib yang menimpa. Semerbak suara angin membawa wewangian bunga dari kuburan. Sudah lama memang jasadnya seakan dibiarkan hidup padahal sudah ingin mati. Dengan segala daya dan upayanya ia terperangah naik ke kursi roda. Kakinya yang kuat menopang badan harus dibantu dengan kursi yang dapat berjalan mengantarkan cita-citanya mencapai tujuan. Rana, seorang perempuan yang terlahir sempurna dengan segala ketulusannya menjaga perempuan yang paling berjasa didalam hidupnya. Sejak kepergian ayahnya, Rana menjadikan tulang punggungnya semakin kokoh untuk mengais rejeki disekitaran Stasiun. Ibu Rana masih terdiam tanpa kata di tempat tidur.

Rana membawa setumpuk koran pagi yang masih hangat dengan pemberitaan kasus korupsi merajalela dan COVID-19 yang sedang melanda dunia. Lalu lalang kendaraan roda dua yang menghampiri sejumput asa menuju tempat kerja. Sesekali kendaraan roda empat melintasi pangkalan Rana menjajakan koran. Satu per satu dagangannya laku terjual. Tersisa satu koran, dipangkuannya. Ia masih menunggu, barangkali koran itu akan singgah di rumah tuannya. Hingga terik matahari diatas kepala, koran itu masih belum menemukan pemiliknya. Gontai langkah roda menggesek aspal menuju tempat bibinya berjualan gorengan diseberang jalan menuju stasiun.

Wajan besar dengan kepulan asap membumbung tinggi di udara. Irisan tempe yang dibalut dengan tepung sudah siap untuk masuk dalam minyak yang telah panas. Sesaat kemudian wajah kedelai itu berubah menjadi hidangan makanan yang sering ditawarkan pada penumpang Kereta Commuter Line setelah jam istirahat tiba. Rana membantu bibinya menggoreng tahu, tempe, dan risol. Dengan suara lantangnya yang memecah kebisingan kota yang ramai, ia menawarkan gorengan yang siap disantap sebagai pengganjal perut yang murah meriah.

"Risolnya seribuan.. silakan kak!" Suaranya dengan penuh semangat.

            Dengan senyumnya yang manis dan hiasan lesung pipi, Rana memberikan sekantong gorengan kepada pembeli. Tak lupa pula ia mengucapkan terima kasih dan untaian kalimat doa memohon segala keberkahan untuk orang tersebut.

"Bi, gorengannya sudah hampir habis ya? Alhamdulillah..." Wajahnya sumringah

"Alhamdulillah, semua berkat upaya kamu. Terima kasih ya Rana" sambil mengusap rambut lurus dan panjang Rana.

"Sudah siang, mari kita pulang! Ibumu pasti sudah menunggumu" sambung bibi sembari menaruh bungkusan makanan kedalam plastik.

            Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di perkampungan belakang stasiun. Semenjak COVID-19 ini memang stasiun juga tidak terlihat begitu ramai, tetapi gorengan bibi dan koran Rana selalu habis terjual. Bibi mendorong kursi roda Rana dengan sangat hati-hati karena jalanan bergelombang, batu-batu kerikil banyak yang terlepas dari aspalnya. Meskipun terlihat diam tanpa gerakan di kursi roda, tangan kanannya terus memegangi tangan bibinya. Koran yang masih belum terjual masih berada di pangkuannya. Ia asyik membaca setiap kata dan memaknainya.

            Matanya kembali merayu untuk terus membaca untaian makna yang disampaikan. Untuk pertama kalinya, koran yang ia bawa belum laku terjual. Dari tatapan matanya, Rana tertarik dengan pemberitaan di koran edisi hari ini. Dari raut mukanya muncul kebimbangan.

"Andai aku membeli koran ini dari sebagian keuntungan penjualan koran, pasti nanti tabungan untuk operasi ibu berkurang. Sudahlah, sebaiknya aku segera menamatkan bacaan ini sebelum dikembalikan ke agen dan menyimpannya didalam ingatan". 

 

            Beberapa meter hampir sampai di tempat agen koran, Rana meminta tolong kepada bibinya untuk menghentikan laju kursi rodanya dibawah pohon rindang.

"Bibi, boleh minta tolong bibi jongkok dan sejajar denganku?"

"Kenapa Rana?" sembari jongkok dihadapannya

Dari kantong baju berwarna coklat, ia mengeluarkan sapu tangan peninggalan almarhum ayahnya. Diusap keringat bibinya yang mengalir deras dan napasnya yang mulai tersengal-sengal. Usianya telah memasuki senja, tetapi ia masih terus berjuang dan berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Malah terkadang Rana merasa tidak enak hati harus merepotkan bibinya untuk mendorong kursi roda pulang dan pergi ke Stasiun. Sembari menunggu keringat bibinya mengering, Rana terus mencatat setiap bagian kalimat yang mengajarkan ia tentang arti kehidupan kedalam buku lusuh tanpa sampul.

"Sejak dulu, memang kamu tidak pernah berubah ya, Rana? Senang membaca dan terus ingin belajar meski keadaan telah berubah drastis. Bagaimana jika bibi daftarkan kamu untuk melanjutkan pendidikan lagi?" ujar bibi sembari menatap mata Rana dalam-dalam

"Uangnya masih kurang, Bi. Sisa tabungan pensiun almarhum ayah juga sudah dialokasikan untuk pengobatan ibu. Fokus Rana saat ini hanya kesembuhan ibu saja dulu, Bi. Selama cita-cita, harapan dan keyakinan masih dalam genggaman, Rana pasti menemukan jalan keluar terbaik. Yang terpenting adalah ibu sehat dulu, Bi. Lagian juga Rana enggak mau merepotkan bibi. Bibi juga harus membiayai sekolah untuk Alisya dengan jualan gorengan. Masalah belajar kan Rana bisa belajar dimana saja. Nanti kalo sudah waktunya, Rana pasti lanjut pendidikan kok, Bi". Jawab Rana dengan tegas, lantang dan tanpa beban.

"Kamu anak yang baik, Nak. Ayahmu pasti bangga dengan dirimu. Nanti malam Alisya ke rumahmu ya untuk belajar matematika. Sepertinya ia lebih memahami jika diajarkan oleh kamu" Bibi tersenyum dan meneruskan perjalanan menuju agen koran.

"Assalamu alaikum pak haji"

"Walaikum salam, Rana. Gimana kakimu masih suka sakit enggak? Saya ada obat China tuh, ampuh buat meredakan nyeri akibat benturan. Kamu mau bawa?"

"Alhamdulillah, harus dilatih pelan-pelan untuk jalan juga, Pak Haji. Kalo enggak merepotkan, boleh pak haji. Mudah-mudahan tangan Pak Haji jadi jalan kesembuhan untuk kaki Rana, aamiin" Jawab Rana.

"Bawalah, sudah jadi tugas dan tanggung jawab kita untuk membantu sesama". 

"Terima kasih Pak Haji, semoga berkah dunia akhirat ya, Pak. Oh iya, ini duit setoran buat hari ini ya? Enggak laku 1 pak, nanggung banget ya? Ya... memang sudah rejekinya. Dihitung dulu pak, khawatir kurang!" senyum dan memberikan uang.

"Sudah,saya percaya sama kamu. Ini bawa makanan dan obatnya ya untuk kamu di rumah" sembari memberikan pada Rana.

"Barakallah. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Pak. Kalo gitu, Rana pamit ya pak" bersalaman dan pergi.

           

Sesampainya di rumah, Rana langsung menyuapi ibunya. Ia senang melihat ibunya sudah mulai bisa tertawa. Seakan-akan menyampaikan isyarat jika hidupnya telah kembali. Semangatnya telah dibangkitkan lagi dari rasa nyaman yang menyelimuti. Sekarang Rana sudah mulai terbiasa memanggil dirinya waktu. Penantian dan kelelahannya berbuah hasil yang menggembirakan dibayarkan lunas oleh sang waktu. Tragedi kecelakaan yang dialami keluarga Rana memang menyisakan luka yang membekas. Hingga 2 tahun terakhir ini, kondisi ibu masih harus dikuatkan oleh bagian luka yang masih menganga. Dengan peristiwa luka itu, ia beranjak memaknai dan bangkit dari keterpurukannya. Ibunya pun masih tersadarkan dalam kondisi bingung, selama 2 tahun terakhir, siapa yang menghidupi dirinya?

Dengan segala ketulusannya, Rana memperkenalkan realita yang berjalan. Memang tidak pernah siap, tetapi waktu yang mengajarkan diri ini untuk siap dan tegar menghadapi cobaan untuk memantapkan diri. Keadaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh gadis kecil berusia 10 tahun. Rana seorang anak yatim yang terus berjuang untuk bangkit dari keterpurukan secara psikologis, fisik, psikis dan ekonomi. Kebakaran yang telah meluluhlantahkan harapannya untuk menjadi seorang polwan dan membawa api telah membawa pergi kenangan bersama dengan ayahnya. Merenggut segenap kebahagiaan memiliki kesempurnaan kehidupan berupa keluarga yang lengkap dan serba berkecukupan.

Lain halnya dengan Rana, ia terus memaknai segala peristiwa yang terjadi didalam hidupnya. Justru ia merasa hidupnya jauh lebih berarti, ia semakin mengerti tentang rasa syukur, ketulusan dan kesabaran. Memaknai segala bentuk cobaan dalam keikhlasan dan sikap positif. Hingga pada akhirnya, dari uang pensiun dini dan uang santunan dari asuransi, Rana berhasil menyembuhkan penyakit kelumpuhan ibunya. Menyadarkan setiap orang jika hidup harus dijalani dengan keseimbangan agar lebih harmonis. Sakit dan sembuh, kaya dan miskin, sehat dan sakit, suka dan duka, hitam dan putih. Siklus realita kehidupan yang belum dipahami secara bijak oleh manusia.

Kini, Rana telah bertumbuh menjadi gadis muda berusia 17 tahun. Seorang filantropi, motivator dan penggerak literasi. Hidupnya dipersembahkan untuk pengabdian bagi sesama yang membutuhkan, berbagi dan terus berbagi. Rana terus memberikan inspirasi dengan tulisan literasi dan gerakan perubahan untuk kemajuan. Memanjangkan segala kebaikan yang dilakukan oleh almarhum ayahnya dan almarhumah ibunya yang telah meninggalkannya sejak berusia 13 tahun. Rana terus menghasilkan ratusan tulisan inspiratif yang dimuat dalam redaktur koran terakhir yang ada didalam genggamannya kala itu.Teruslah berjuang agar menjadi sosok wajah waktu yang dinanti untuk menginspirasi.

Salam,

Sri Patmi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun