"Bawalah, sudah jadi tugas dan tanggung jawab kita untuk membantu sesama".Â
"Terima kasih Pak Haji, semoga berkah dunia akhirat ya, Pak. Oh iya, ini duit setoran buat hari ini ya? Enggak laku 1 pak, nanggung banget ya? Ya... memang sudah rejekinya. Dihitung dulu pak, khawatir kurang!" senyum dan memberikan uang.
"Sudah,saya percaya sama kamu. Ini bawa makanan dan obatnya ya untuk kamu di rumah" sembari memberikan pada Rana.
"Barakallah. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Pak. Kalo gitu, Rana pamit ya pak" bersalaman dan pergi.
     Â
Sesampainya di rumah, Rana langsung menyuapi ibunya. Ia senang melihat ibunya sudah mulai bisa tertawa. Seakan-akan menyampaikan isyarat jika hidupnya telah kembali. Semangatnya telah dibangkitkan lagi dari rasa nyaman yang menyelimuti. Sekarang Rana sudah mulai terbiasa memanggil dirinya waktu. Penantian dan kelelahannya berbuah hasil yang menggembirakan dibayarkan lunas oleh sang waktu. Tragedi kecelakaan yang dialami keluarga Rana memang menyisakan luka yang membekas. Hingga 2 tahun terakhir ini, kondisi ibu masih harus dikuatkan oleh bagian luka yang masih menganga. Dengan peristiwa luka itu, ia beranjak memaknai dan bangkit dari keterpurukannya. Ibunya pun masih tersadarkan dalam kondisi bingung, selama 2 tahun terakhir, siapa yang menghidupi dirinya?
Dengan segala ketulusannya, Rana memperkenalkan realita yang berjalan. Memang tidak pernah siap, tetapi waktu yang mengajarkan diri ini untuk siap dan tegar menghadapi cobaan untuk memantapkan diri. Keadaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh gadis kecil berusia 10 tahun. Rana seorang anak yatim yang terus berjuang untuk bangkit dari keterpurukan secara psikologis, fisik, psikis dan ekonomi. Kebakaran yang telah meluluhlantahkan harapannya untuk menjadi seorang polwan dan membawa api telah membawa pergi kenangan bersama dengan ayahnya. Merenggut segenap kebahagiaan memiliki kesempurnaan kehidupan berupa keluarga yang lengkap dan serba berkecukupan.
Lain halnya dengan Rana, ia terus memaknai segala peristiwa yang terjadi didalam hidupnya. Justru ia merasa hidupnya jauh lebih berarti, ia semakin mengerti tentang rasa syukur, ketulusan dan kesabaran. Memaknai segala bentuk cobaan dalam keikhlasan dan sikap positif. Hingga pada akhirnya, dari uang pensiun dini dan uang santunan dari asuransi, Rana berhasil menyembuhkan penyakit kelumpuhan ibunya. Menyadarkan setiap orang jika hidup harus dijalani dengan keseimbangan agar lebih harmonis. Sakit dan sembuh, kaya dan miskin, sehat dan sakit, suka dan duka, hitam dan putih. Siklus realita kehidupan yang belum dipahami secara bijak oleh manusia.
Kini, Rana telah bertumbuh menjadi gadis muda berusia 17 tahun. Seorang filantropi, motivator dan penggerak literasi. Hidupnya dipersembahkan untuk pengabdian bagi sesama yang membutuhkan, berbagi dan terus berbagi. Rana terus memberikan inspirasi dengan tulisan literasi dan gerakan perubahan untuk kemajuan. Memanjangkan segala kebaikan yang dilakukan oleh almarhum ayahnya dan almarhumah ibunya yang telah meninggalkannya sejak berusia 13 tahun. Rana terus menghasilkan ratusan tulisan inspiratif yang dimuat dalam redaktur koran terakhir yang ada didalam genggamannya kala itu.Teruslah berjuang agar menjadi sosok wajah waktu yang dinanti untuk menginspirasi.
Salam,