Kesunyian ini masih mendekam dihajar peristiwa waktu yang membuat malam berganti waktu menjadi terangÂ
Diujung batas penantian ada sepucuk surat berwarna merah yang ditulis dan digantung dekat pintu rumahÂ
Pemerhati bagi diri ini selalu mengawasi pergerakan angin yang menerbangkan hempasan secarik surat ituÂ
Entah sampai kapan angin ini semilir membawa dingin agar lembarannya tak sanggup menahan menggigilnya api yang telah bekuÂ
Dari kutipan-kutipan yang mulai tertanggal dibalik pita ungu diujung kertas ada sebuah mawar yang telah matiÂ
Bangkainya tidak pernah dibuang atau dikuburkan selayaknya kematian dibungkus dengan dukaÂ
Justru bangkai mawar dibungkus dengan kertas yang mudah hancur dilumat airÂ
Hempasannya mendarat diatas tanah yang masih basah dibubuhi kuah embun yang masih segar melepas dahagaÂ
Dahaga rindu tanah pada langit yang membawa jutaan partikel air yang jatuhÂ
Tanah telah tahu jika penghubung diantara perpisahan mereka adalah embunÂ
Sama halnya dengan secarik surat yang terus dipandangi
Aku tahu itu takkan pernah sampai pada penerimanyaÂ
Karena secarik surat itu kutulis diatas kelopak mata yang telah layuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H