Sudah berjalan 28 tahun lamanya. Kebahagiaan itu masih menaungi diri ini yang sejatinya hanyalah makhluk biasa. Tidak ada sebuah rekayasa atau manipulasi agar terlihat sempurna dimata manusia. Sudah aku jalani untaian waktu sederhana dengan eunoia Melakoni titah suci kehidupan untuk terus berbagi dalam kondisi apapun. Termasuk dalam bahasa diam itu sendiri.Â
Menjadi seorang textrovert yang tak disangka ada didalam diriku saat ini. Sudah tentu ini menjadi hal yang biasa dilakukan oleh sebagian besar orang. Bukan bakat dibawa sejak lahir hanya sebuah anugerah titipan dari Yang Maha Kuasa.Â
Kapanpun bisa diambil jika Tuhan sudah tidak menghendakinya dan hubungan itu terputus karena disengaja atau tidak. Dengan segala keridhoan dan rahmat Gusti Yang Maha Agung, saya berbagi dan persembahkan sebuah kisah kebahagiaan di tanah anarki. Dimasa peperangan yang saat ini melanda dunia.
Hampir setahun ini virus corona melanda dunia. Secara sadar, kita saat ini merasakan efek domino dimana-mana. Seperti sedang bertaruh antara hidup dan mati saja saat ini. Berjudi dengan kehidupan, menang atau kalah? Bisa jadi kita menang, tetapi orang sekitar kita kalah.Â
Berperang melawan carut marut dunia yang diterpa bukan hanya badai tetapi dunia terbalik menjadi dibawah semua. Untung saja masih ada gravitasi bumi yang menjadikan manusia masih bertahan untuk berpijak.Â
Meski nyawa sudah menggantung diantara langit dan bumi. Bayangkan saja, sampai saat ini masih belum bisa diprediksi kapan berakhirnya wabah ini. Semuanya meronta kesakitan. Bukan hanya fisik, pada akhirnya sakit berubah menjadi psikis dan psikosomatis.
Hal yang beriring menaungi semuanya. Dimana kebahagiaan muncul seperti bola yang ditekan kedalam air begitu lama. Ia mencuat seiring dengan lesatan yang hebat ke angkasa yang luas. Bala bantuan datang dimana-mana. Proses seleksi alam katanya. Manusia tergerak untuk mengubah tangis sakit menjadi tangis bahagia.Â
Mereka yang dulunya tak pernah berbagi akhirnya berbagi kebahagiaan dengan memberi. Hingga konsep memberi itu menyentuh tataran tinggi jajaran pemerintah itu sendiri, pemerintah ikut memberi dalam bentuk bantuan.Â
Jika hidup berkecukupan, banyak uang, banyak harta dan limpahan segala kemewahan didalamnya berbagi, itu hal sudah biasa, karena mereka ada. Bagaimana jika berbagi dalam kondisi sulit dan tidak ada? Bukan sebuah hal yang konyol untuk dilakukan tanpa sebuah dasar.
Pria ini hangat kusapa dengan sebutan Pak Direktur. Tak ada hal yang mewah melekat dalam dirinya. Tak ada benda bermerk, yang ada hanya sebuah kesederhanaan yang dibalut dalam kesahajaan.Â
Dikatakan sebagai seorang direktur harusnya sudah bergelimangan harta ditambah dengan orang selevel dengannya sudah gonta ganti mobil dan kemewahan memayungi dirinya. Seperti sebuah logika terbalik dalam hidup ini. Dihujani ribuan tanya, tetapi masih tak mendarat ditelinganya.Â