Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pertemuan Penghujung Waktu

11 Desember 2020   20:30 Diperbarui: 11 Desember 2020   20:40 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sang waktu memang bergulir. Tapi sepertinya ia tidak berubah. Tidak sedikitpun ia Mengambil apapun. Ia melipir melipat sesuatu yang tertanam pada diri. sebuah standard yang ditetapkan secara internasional untuk menamakan sebuah guliran lipatan itu, mereka menamakannya waktu.

Padanya melekat, terikat sebuah kesempatan. Lalu, sang kesempatan membawakan sebuah pertemuan itu. Biasa saja. Tak ada apapun. Karena memang bukan apa-apa.

Menggunakan batik biru. Kain terusan hitam. Berjalan seperti tikus. Melipir. Tak menengok kanan kiri. Mencoba untuk memperlihatkan kepribadian plus.

Sekian lama hilang, kemudian muncul lagi dengan hal yang sama. Dan tak ada yang berubah. Tak ada yang mengubah.

Lipiran waktu mengulang. Memperlihatkan sisi lain yang berbeda. Ada tapak jelas terlihat sebuah kesungguhan akan apa yang sedang diraih. Dan dilain lipiran yang berbeda, ia memperlihatkan bukan hanya tekad, tapi sebuah hal lain yang bertaring tajam dibalik semua hal yang seolah biasa yang dipertontonkan.

Mereka mungkin melihatnya biasa. Bahkan terlihat apa yang sedang dilakukannya adalah hal remeh temeh. Tapi aku menangkap sebuah trap yang terpasang. Meski aku tak sadar, tapi aku ternyata telah melalui beberapa trap. Dan aku menyadari begitu banyak trap yang terpasang. 

Lalu aku katakan kepada beberapa orang, bahwa orang itu jangan dianggap remeh. Dia punya misteri. Dia bukan dia. Entah berapa lapis topeng yang dikenakannya. Dia tidak sepolos tampangnya yang masih perawan.

Mungkin tanpa maksud ia menyiapkan trap itu pada banyak tempat. Seakan berlapis. Mungkin pula bukan ia yang memasang.

Pada lipiran berikutnya, sang waktu membawakan bisikan, bahwa ternyata ia memang bukan menampilkan kepolosan tanpa warna. Tapi malah perputaran warna warni yang Terlalu cepatlah sehingga yang Nampak hanyalah sebuah penampakan warna putih.

Seakan tak ada apapun selain kepolosan. Dan salah satu trap lain yang tak dapat ditatap oleh begitu banyak sosok adalah trap warna putih itu. Bila tak memiliki atau bahkan merubah frekuensi diri untuk menyamakan putarannya, maka tak akanlah mendapatkan sebuah bentuk warna warni. Dan semua warna berada padanya.

Tak ada putih bila tak ada hitam. Tak ada warna warni bila tak ada dasar putih. Dan ternyata, warni itu blom ditataki oleh sebuah putih. Hitam tak pernah tertarik pada putih. 

Begitupun sebaliknya. Putih tak butuh putih. Hitam tak butuh hitam. Dan warni tak pernah Nampak tanpa goretan. Dan munculan sebuah yin yan yang tak tak pernah saling mengalahkan. Tak pernah merasa dominan. Tapi bersisian.

Disekitarnya beranggapan bahwa mereka putih dan dia adalah hitam. Maka gugurlah putih pada hitam. Sebagian mengatakan dirinya hitam, tanpa ada putih. Maka gugurlah putih pada hitam. Karena ia tidak mencari hitam atau putih. Karena bahkan ... ia tak mencari warna. Warninya sudah cukup bagi dirinya. Tak perlu lagi sosok lain membawakan berbagai warna padanya.

Dan dia lupa. Bahwa ada sesuatu yang membuat semua warni itu ada. Atau ... apakah itu trap yang lain?

Sejuta tanya tak pernah terjawab bila tak pernah ada pertanyaan itu sendiri. Dan semua jawaban terjawab tanpa ada pertanyaan. Ia, aku, atau siapapun, tak pernah tahu apapun tanpa ada yang memberitahu apapun. Sebuah rasa menyatakan berita yang lain. Terikat pada benang yang tak ada di lengan. Terpaut pada untalan yang tak terajut. Terpaku pada papan tanpa aksara yang berbentuk.

Tak mencari, maka akan dipertemukan. Tak bertanya, maka akan terjawab. Tak bergerak, maka tak pernah ada.

Bukan ia yang memulai. Bukan aku pula yang mengakhiri. Tak ada awal dan tak pernah ada akhir. Tak ada ikatan, karena tak tertapaki.

Lalu apakah kita yang tak pernah tertarik satu dengan yang lain selain sebuah keanehan misteri kehidupan yang membuat kita saling menatap tajam?

Mungkin lipiran waktu yang membuat begitu banyak trap. Mungkin pijakan batu yang membuat kita bisa melesat sebagai pijakan. Mungkin tanda yang membuat kita saling mengenal. Mungkin bentuk yang membuat kita saling tertarik.

Dan tak ada warna pada diriku, selain sebuah titik.

Aku tak butuh warna, karena aku bisa menciptakan warna apapun. Tapi aku lupa, bahwa aku butuh sebuah benang yang menguntalkan sebuah takdir. Dan benang itu termiliki oleh dirimu.

Aku tak pernah tau apa itu takdir selain aku sendiri menempati takdir itu. Dan takdirku, berada padamu. Lalu Salahkah aku bila aku berjuang keras menguntal benang untuk menjadikan takdir itu nyata pada diriku.

Aku bukan milikmu. Dan dirimu bukan pula milik dirimu. Aku tak pernah memiliki dirimu. Dan dirimu tak juga dimiliki oleh siapapun. Maka aku ajarkan padamu agar memiliki sebuah jalan yang sama menuju sang Maha Kuasa, agar diperkenankan menyatukan takdir itu teruntal untuk kita. 

Hingga pada kehidupan selanjutnya, pada setiap siklus dan fase kehidupan, kita adalah sosok yang selalu menyatu pada yang Maha Kuasa dan tak pernah lagi mengulang kisah menyedihkan selain sebuah penyatuan untuk kita selamanya, dalam naungan kasih yang Maha Kuasa. Dan kita adalah pelengkap kenikmatan sebuah kisah dari sebuah takdir.

Jangan tanya rasaku yang terus mengulangi kehidupan demi kehidupan demi untuk menemukan dirimu dalam sebuah janji bekal keabadian. Bila keabadian itu sendiri tak pernah aku temui, maka takdir itupun bukan milik kita.

Jangan pernah tanya berapa sosok yang harus aku temui dalam setiap kehidupan untuk sekedar menemukan jawab akan keberadaan dirimu.

Masing-masing kita begitu tebal mengenakan topeng. Hingga kita sendiri lupa, dimana wajah asli kita. Betapa kagetnya kita saat ternyata kita adalah masing-masing diri yang ternyata mengenakan topeng. Paling tebal diantara begitu banyak topeng. Koleksi yang lebih kompleks dari pada tebalnya topeng itu sendiri.

Aku hanya minta padamu. Izinkan aku, bila ini sebuah kebenaran sejati, mempersembahkan diriku untuk menyatukan jiwa-jiwa kita yang begitu lelah mencari satu sama lain. Merajut penantian demi penantian untuk hanya sekedar menepati janji pada yang mahakuasa agar dapat menyatu sempurna.

Bila ini adalah sebuah kebohongan sempurna, mengapa pula rasa ini begitu nyata. Mengapa pula apa yang dilakukan jiwa begitu Nampak nyata pada raga kita. Mengapa pula ada cerita tentang kita.

Aku tak berhak menuntut hasil. Karena aku tak punya Kuasa pada hasil. Aku hanya tau bahwa kehidupan ini bukan milikku. Aku hanya butuh menjadi kehidupan itu sendiri agar aku bisa memilikimu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun