Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sri Patmi: Cintaku Cinta Monyet

7 Desember 2020   16:52 Diperbarui: 7 Desember 2020   16:55 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang berasumsi bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah. Masa cinta putih abu -- abu bersemi. Percaya atau tidak, pada masa putih abu- abu segala macam problematika kehidupan seakan datang mendera dalam proses pendewasaan. Mulai dari problematika cinta hingga persahabatan. Mulai dari cinta monyet yang berawal dari persahabatan hingga cinta lokasi. Eiits ... cinta lokasi yang dimaksud karena kedekatan jarak yang sangat intens.

Kini, cinta yang kualami bukanlah cinta monyet ataupun cinta lokasi. Lah? Terus apa dong? Cinta diam -- diam. Mungkin wanita adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan penuh keistimewaan dan kelebihan. Mengapa demikian? Hal ini terkait cinta diam -- diam yang kualami pada masa putih abu -- abu. Seorang wanita pandai menyimpan perasaannya. Wanita pandai sekali menata perasaan dalam hatinya.

Namun, kisah cintaku dimulai bukan dari masa putih abu -- abu. Kisah cintaku dimulai dari masa putih merah atau masa SD. Aku memiliki seorang teman, temanku bernama Arie. Semasa SD, aku dan ia tak pernah akur. Setiap kali bertemu, ia selalu memanggilku dengan sebutan "Cacing", kubalas kembali cemoohannya dengan sebutan "Gorila". Aku selalu bertanya -- tanya, "mengapa ia selalu memanggilku dengan sebutan cacing? Pada masa itu, aku membenci semua tindakan dan perlakuannya padaku".

Pada masa putih biru, entah apa yang kurasa, aku merindukan orang yang kubenci. Kubuka kembali album kenangan masa SD, perlahan kubuka lembaran kenangan itu. Jariku sekaan terhenti dalam sebuah lembar kenangan bersama dengannya. Aku tersenyum kecil dan hatiku berkata 

"Mengapa aku sangat merindukannya?".

Aku berusaha mencari informasi tentang teman SD ku itu. Ego dan gengsiku masih tinggi, aku berusaha menggali informasi melalui teman dekatnya dengan berbagai alibi. Akhirnya, kini aku mengetahui jika ia meneruskan studi di pondok pesantren.

Dalam, momentum yang tak diduga dan tak disangka -- sangka, aku berjumpa dengannya. Aku terkejut dan tercengang, karena ia bukan orang yang kukenal dulu. Kini ia tampak lebih memiliki karisma yang membuatku terpesona. Aku masih menunjukkan ego dan gengsiku, aku tak boleh terkesan sangat merindukannya. Aku harus pandai menyimpan perasaanku ini.

Percakapan kami dimulai dengan kata sapa "Hai?".

"Apa kabar?".

"Baik".

Perlahan ia mendekatiku. Hatiku bertanya -- tanya "ada apa nih?"

"Boleh minta nomor hp nya?".

"Oh iya, Oke. Nih" (Sembari menyerahkan secarik kertas yang bertuliskan nomor ponselku).

Layaknya gadis remaja yang lain, aku senang dan gembira. Mungkinkah ia merasakan apa yang kurasa saat ini, Tuhan? Apakah ia merasakan hal yang sama kurasakan? Setiap detik kupandangi ponselku, dengan harapan ada seseorang yang mengirimkan SMS atau minimal missed call. Hari berlalu, terus berlalu, kabar darinya tak kunjung kudapatkan. Dalam benakku berkata, ia tak perlu tahu tentang perasaanku. Masalah perasaan ini, biarlah aku dan Tuhan yang tahu. ( asiik ... )

Akhirnya kuputuskan untuk fokus belajar hingga masa putih abu -- abuku berakhir. Prioritas utamaku adalah lulus dengan mendapatkan nilai terbaik dan masuk ke universitas yang kuinginkan. Ternyata usaha yang kulakukan berbuah manis, Tuhan menjawab semua doaku. Aku diterima disalah satu universitas ternama di Kota Tangerang Selatan, tepatnya di Gading Serpong.

Hari ini adalah hari pertama masuk kuliah. Aku bertekad untuk meninggalkan semua masa putih abu -- abu dan mengubah mindset layaknya seorang mahasiswa dan harus lebih dewasa.

Satu bulan masuk kuliah adalah masa adaptasi untukku. Masa untuk memahami situasi dan kondisi di kelas maupun di kampus secara menyeluruh. Kini, aku tahu, dunia perkuliahan tidak sama dengan masa sekolah dulu. Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya aku mampu beradaptasi dengan lingkungan disekitarku.

 Pagi yang cerah, kubuka jendela, kunikmati hangatnya sinar mentari yang memberikan kesejukan dan ketenangan hati. Bergegas, aku beranjak dari pembaringanku dan kugapai handuk yang tersangkut dibalik pintu. Entah mengapa, pagi ini semangatku sangat membara. Aku tiba di kampus jauh lebih awal dibanding hari biasanya. Segera kulangkahkan kakiku memasuki ruang pembelajaran. Meskipun aku datang jauh lebih awal, ternyata ruangan kelasku sudah dipenuhi dengan teman- temanku.

 "Hai ! Pagi temen -- temen" ( sapaan hangat yang biasa kulakukan )

 Aku memilih tempat duduk disalah satu sudut ruangan. Segera membuka dan membaca buku, itulah rutinitas yang setiap hari kulakukan. Tiba -- tiba, ada seorang teman yang datang menghampiriku.

 "Hai, sorry ganggu, ada titipan nih!" (sembari menyerahkan sesuatu kepadaku ).

 "Hahh? Buat aku?" ( dengan penuh penasaran )

 "Iya".

 "Dari siapa?".

 "Enggak tahu, dia enggak nyebutin namanya. Dia cuma titip ini buat kamu".

 "Ohh ... Oke, terima kasih ya?".

 "Sip!".

Kugenggam rangkaian bunga mawar merah yang cantik dan harum. Kubaca sepucuk surat yang terselip dalam rangkaian bunga yang ranum.

 "Aku memang bukan seorang penyair yang mampu merangkai kata -- kata indah. Aku hanyalah pengagummu yang berasal dari negeri antah berantah. Entahlah, apakah perasaan yang kurasa ini salah? Aku mulai resah, membuatku semakin gundah. Membayangkan wajahmu yang elok nan indah".

 Aku tersenyum dan berkata "Indah sekali rangkaian kata -- kata penulis surat ini. Terima kasih telah mengagumiku".

 Kupikir, hal ini akan terhenti saat itu saja. Ternyata, kejadian itu berlanjut. Hampir setiap hari, aku mendapatkan rangkaian bunga mawar merah disertai dengan rangkaian kata -- kata yang indah. Rangkaian bunga mawar ini, seakan menuntunku untuk menemukan belahan jiwaku. Tuhan, apakah ia yang telah Engkau kirimkan untuk mendampingiku dan satu untuk selamanya? Semoga ...

 Suatu hari, rangkaian bunga yang kunanti tak kunjung tiba. Hatiku bertanya -- tanya, "Tuhan, hari ini tak kudapat rangkaian bunga dan kata -- kata indah darinya, apa yang terjadi padanya,Tuhan? Apa yang kurasa saat ini?aku begitu mengkhawatirkannya, padahal aku tak pernah tahu siapa ia serta apa maksud dan tujuannya? Mungkin rasaku ini salah. Tapi aku yakin akan rencana -- Mu yang indah, Tuhan".

 Tepat pada hari ulang tahunku yang ke -- 19, kuterima kembali rangkaian bunga mawar itu. Namun, isi surat tersebut jauh lebih singkat, jelas dan padat tanpa ada rangkaian kata -- kata indah.

 "Jika kamu bersedia, temui aku di taman kota malam ini. Kutunggu kehadiranmu".

Perasaanku makin tak menentu, senang, gembira, sedih, takut dan gelisah. Semuanya menjadi satu paket. Dengan balutan busana casual, kupenuhi undangan pria pengagumku itu. Awalnya aku bingung, bagaimana aku bisa menemukannya, sedangkan aku tak pernah bertemu dengannya. Jangankan untuk bertemu, selama ini yang kudapatkan hanya bunga, surat dan cokelatnya saja.

Lagi lagi, disalah satu bangku disekitar taman, kulihat setangkai bunga mawar. Bunga itu seakan melambaikan tangannya dan berkata "genggamlah aku!". Kugenggam bunga itu. Kemudian aku berjalan, kulihat setangkai bunga yang lain. Begitu seterusnya, hingga bunga mawar itu menuntunku untuk menemuinya.

 Nampak seorang pria mengenakan kemeja berwarna putih, berbadan kekar dan tegap. Aku ragu, apakah ia pria yang kumaksud? Perlahan, kuhampiri pria itu.

 "Hai ... apakah kamu mengetahui siapa orang yang meletakkan bunga -- bunga ini disini?"

 "Ternyata bunga mawar itu jauh lebih cantik jika ada dalam genggaman wanita secantik kamu. Saat bunga itu hanya kuletakkan disuatu tempat tanpa ada yang memiliki, bunga itu nampak layu dan tiada arti. Kini, bunga itu seakan hidup dengan ketulusan hati kamu. Kamu belum mengenalku, namun kamu memenuhi undanganku untuk hadir ditempat ini".

 "Hmm ... Iya, terima kasih atas pujiannya. Memang, aku belum mengenal kamu, tapi aku yakin, kamu orang yang baik. Mohon maaf, kamu tahu etika komunikasi yang baik, ketika kita berbicara, bukankah ada baiknya saling memandang satu sama lain?".

 Perlahan, ia berbalik arah. Seketika, aku kaget dan tercengang.

 "Arie? Kamu?"

 "Iya, ini aku Arie".

 "Kok? ini benar kamu, Ri?".

 "Iya".

 Mulutku terdiam dan bungkam.

 "Aku minta maaf ya kalo selama ini, aku selalu merahasiakan semuanya dari kamu. Mulai dari rangkaian bunga, surat dan cokelat yang kukirim untuk kamu. Aku tahu, kamu teman masa kecilku, teman masa SD. Hubungan kita dimasa SD pun kurang baik, aku suka ngisengin kamu, ngatain kamu dengan sebutan yang kupikir kurang layak untuk gadis secantik kamu. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku melakukan itu semua karena kamu selalu menghindar dariku. Akhirnya, kugunakan cara itu untuk mendekati kamu. Tapi, ternyata rencanaku gagal, kamu semakin jauh dan membenciku. Sejak perpisahan SD itu, aku berpikir akan dipertemukan denganmu kembali. Ternyata, Tuhan mempertemukan kita saat kelas 3 SMP, disaat yang tak diduga. Semenjak pertemuan itu, aku senang, namun aku bimbang".

 "Bimbang karena?".

 "Saat itu aku sedang menjalani hubungan dengan yang lain. Bimbang karena hubunganku dan dia kurang baik dan aku bertemu dengan cinta lamaku kembali, namun sebagai laki -- laki, aku harus memiliki sebuah komitmen. Kuputuskan untuk selalu menjaga komitmen dan hubungan kami. Namun, apa yang kulakukan ternyata sia -- sia. Ia justru membalas semua pengorbananku dengan sebuah pengkhianatan".

 "Pengorbanan? Pengorbanan apa yang kamu lakukan?".

 "Aku berusaha keras melupakan cinta lamaku yaitu kamu. Tapi, aku yakin, Tuhan memiliki rencana yang indah. Tuhan telah menunjukkan bahwa kamu adalah pilihanku selama ini".

 "Seberapa besar keyakinan kamu itu?"

 "Keyakinan itu hanya ada didalam hati dan tidak dapat direpresentasikan dalam ukuran nilai yang pasti. Aku enggak mau memberi sebuah janji, tapi tindakan yang kulakukan adalah wujud representasi keyakinanku sama kamu. Tapi, muncul satu pertanyaan besar dalam batinku, apakah aku akan menjadi pilihan kamu layaknya aku menjadikan kamu sebagai pilihanku?".

 "Kenapa baru sekarang? Aku menanti pertanyaan ini sejak beberapa tahun yang lalu?".

 "Maksud kamu?".

 "Yah ... memang aku akui, ego dan gengsiku masih tinggi untuk mengakui kalo ternyata aku menyukai kamu. Sejak perpisahan SD itu, entah mengapa aku sangat merindukan kamu. Aku berharap bisa bertemu kamu kembali, tapi pertemuan itu ternyata hanya memunculkan sebuah kebimbangan untuk kamu. Dan aku enggak pernah tahu sedikitpun kabar kamu. Sejak saat itu kuputuskan untuk fokus belajar".

 "Fokus belajar hingga masuk ke universitas yang kamu inginkan? Aku akui, kamu gadis yang cerdas dan pandai. Dan kamu layak mendapatkan apa yang kamu inginkan. Tanpa kamu sadari, aku selalu mengikuti setiap jejak langkah yang kamu tempuh?".

 "Maksud kamu?".

"Entah ini kamu sadari atau tidak, kita teman satu kampus?".

 "Hah? Kamu yakin? Kok aku enggak pernah lihat kamu?".

 "Mungkin kamu enggak pernah lihat aku, tapi aku selalu melihat dan tahu dimanapun kamu berada. Dan saat inilah momentum yang tepat dan aku tunggu sejak kelas 3 SD".

 "Jangan bawa -- bawa cinta monyet deh!".

 "Yah ... cinta monyet? Sekarang cinta monyetnya sudah tumbuh dewasa ( hehehe ). Aku benar -- benar yakin bahwa kamu adalah pilihanku, dan aku mau kamu menjadi satu untuk selamanya".

 "Hmmm ...".

 "Kenapa? Kamu ragu sama aku?".

 "Enggak ada sedikitpun keraguan dihatiku terhadap kamu. Kamu adalah pilihanku, satu untuk selamanya".

 "Boleh aku tahu alasan kamu menjadikan aku sebagai pilihan kamu? Sedangkan saat ini pun banyak laki -- laki yang sedang berusaha merebut dan memperoleh perhatian kamu?".

 "Karena keyakinan. Aku yakin sama kamu, dan kupikir cinta itu tidak butuh sebuah alasan. Cinta itu sebuah rasa. Dan aku bukan tipe orang yang suka menstandarisasi diri, terutama dalam hal cinta. Selama aku selalu berusaha maksimal seiring dengan doa, masa sih aku enggak pantes untuk dicintai pria baik seperti kamu?".

 Upsss, ternyata aku salah, diam -- diam aku mencintainya dan diam -- diam ia mencintaiku. Jadi, cinta diam -- diam itu berawal dari zamannya cinta monyet. Oh iya lupa ... cinta monyet itu sekarang sudah beranjak dewasa.

 Mungkin berawal dari cinta monyet, semoga akan kekal abadi dengan landasan keyakinan, kejujuran dan rasa percaya.

 Cinta? Lho kok monyet?

  

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun