Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sri Patmi: Amanah Garis Merah

7 Desember 2020   14:46 Diperbarui: 7 Desember 2020   14:49 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sabar ya nak, kita sama-sama dzikir ya supaya kamu baik dan tenang"

Dokter kandungan datang, langkah kakinya menuju ke ruangan sudah aku perhatikan dari kejauhan. Tak lama kemudian, perawat memanggil namaku. Kuceritakan kondisi dan keluhan yang aku alami. Bagiku, ucapan dokter itu merupakan garam yang ia taburkan pada luka yang menganga.

"Baiklah, mari kita cek bersama bu! Jika pendarahan disertai dengan rasa keram perut, kemungkinannya hanya 3 yaitu janinnya tidak berkembang, bayinya meninggal dan bayinya hanya sakit. Kita sama-sama berdoa ya semoga bayinya hanya sakit".

Aku berbaring diatas tempat tidur, sebelah kanan ada alat USG dan beberapa meter diatas kepalaku ada layar monitor berukuran 14 inch. Rasa tak kuasa, tapi aku harus memastikan kondisinya baik-baik saja dalam layar itu.

Ternyata, kenyataan berkata lain. Statement dokter mengatakan bahwa bayinya meninggal. Saat itu, bagaikan disayat dengan ribuan sembilu dan disambar petir ditengah teriknya matahari.

Dokter meminta persetujuan untuk melakukan kuretase kepadaku dengan dengan sedikit intimidasi.

"Bu, karena bayinya meninggal, kita harus segera kuret. Kalo tidak segera dikuret, dapat membahayakan kondisi ibu. Coba ibu bayangkan, daging busuk ada didalam rahim ibu selama berbulan-bulan, itu sudah menjadi apa didalamnya? Ibu bisa bayangkan itu? Rahim itu asset yang berharga bagi seorang wanita, bu. Jangan sampai iu kenapa-kenapa karena telat dikuret". 

"Baik dok, saya menunggu suami saya datang dulu untuk mempertimbangkan"

 Selang lima belas menit kemudian, kuda besi dengan ditunggangi dua orang diatasnya tiba didepan rumah sakit. Kulihat sosok pria yang tinggi dan atletis tergesa-gesa memasuki lobby. Betul, dialah suamiku. Mukanya terlihat panik dan khawatir. 

Kuberikan ia segelas air teh untuk menghangatkan tubuhnya yang basah kuyup tersiram hujan. Setelah rileks, kuberikan buku pemeriksaan ANC dan hasil foto USG. Refleks secara manusiawi, ia peluk tubuhku dengan erat.

"Allah lebih sayang sama anak kita, yang terpenting adalah kondisi kamu saat ini. Ibunya harus segera diselamatkan"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun