Komoditas cabai sering mengalami gejolak hingga harganya naik sangat tinggi menembus seratus ribu rupiah per-kilogram untuk cabai rawit merah. Ironisnya hal itu terus terjadi tanpa solusi yang mendasar.
Komoditas cabai ikut mengerek angka inflasi, namun masyarakat tidak pernah kapok mengkonsumsi cabai sebagai bahan pangan sehari-hari.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) menghimbau masyarakat untuk menanam sendiri cabai di rumah sebagai solusi di tengah melonjaknya harga cabai, terutama cabai rawit.
Namun perlu diingat, menanam cabai itu gampang-gampang susah. Kadang bisa tumbuh subur, kadang juga meranggas lalu mati.
Meskipun media tanam untuk cabai sudah dipersiapkan dengan baik, namun akibat cuaca dan temperatur ekstrim, tanaman cabai mudah mati.
Di berbagai daerah harga cabai masih membumbung tinggi. Krisis cabai terus berlangsung dan solusinya kurang mendasar. Krisis berupa kurangnya pasokan yang sangat tidak sebanding kebutuhan.
Yang paling mudah disalahkan adalah faktor cuaca sebagai faktor kegagalan panen. Padahal hal itu tidak sepenuhnya benar.
Inovasi dan teknologi pertanian mestinya bisa mengatasi krisis cabai dengan jalan menemukan varietas atau benih cabai yang lebih adaptif dengan kondisi cuaca. Perlu rekayasa benih cabai yang mampu panen dalam kondisi cuaca ekstrim.
Akar persoalan cabai sebenarnya bermuara dengan pudarnya budaya pemuliaan benih. Pemuliaan benih cabai dan tanaman hortikultura lainnya tertinggal oleh program pemuliaan benih padi.
Hal itu terlihat dari jumlah benih impor tanaman hortikultura dari luar negeri yang masih mendominasi di negeri ini. Padahal nenek moyang kita sebenarnya telah mewariskan berbagai metode untuk memuliakan atau merekayasa benih unggul.
Berbagai daerah memiliki kearifan lokal atau indigenous yang masih relevan dan signifikan untuk memuliakan benih tanaman. Sayangnya, indigenous atau kearifan dan pengetahuan tradisional itu kini semakin tergilas oleh kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri.
Masih banyak lahan kritis dan terbengkalai serta pekarangan rumah rakyat yang belum tergarap secara baik. Hal itu mestinya bisa menjadi lumbung pangan yang luar biasa jika kondisinya berkecukupan benih.
Sekadar gambaran, di Provinsi Jawa Barat saja masih ada ratusan ribu hektar lahan kritis yang potensial untuk ditanami tanaman pangan. Masalahnya tinggal bagaimana pemerintah menyediakan benih unggul dan mendorong budaya pemuliaan benih.
Sebagai negara agraris seharusnya bangsa ini memiliki kemajuan dalam rekayasa perbenihan. Kemajuan itu ditandai dengan kemampuan pemerintah membagi-bagikan secara gratis benih unggul apa saja kepada rakyat luas.
Dengan langkah itu maka program ketahanan pangan keluarga akan terwujud. Sayangnya hingga kini masalah benih belum menjadi prioritas utama. Buktinya, hingga kini Indonesia masih tergantung pada impor benih padi hibrida dari Tiongkok.
Pemerintah mestinya menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga.
Masih banyak pekarangan rumah yang dibiarkan menganggur karena kesulitan mendapatkan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan rakyat akan menjadi produktif.
Kesadaran untuk memuliakan benih tanaman sebenarnya telah diwariskan oleh nenek moyang kita.
Salah satu warisan indigenous itu antara lain terlihat dalam tradisi Ngareremokeun. Merupakan upacara dalam tradisi Sunda Wiwitan yang hingga kini masih dilaksanakan di daerah Kanekes Baduy. Konten tradisi tersebut adalah mengawinkan tanaman padi.
Upacara yang sakral tersebut dianggap sebagai momentum bertemunya energi hidup dari Sang Hyang Asri Pohaci.
Dalam sistem masyarakat Sunda Wiwitan aktivitas hidup yang utama adalah ngahuma (berladang). Ngahuma bukan sekadar mata pencaharian saja, tetapi demi melestarikan kehidupan Nyi Pohaci yang setiap tahun harus halimpu (kawin) dengan bumi.
Mestinya warisan indigenous leluhur Sunda itu oleh generasi kini diartikulasikan dalam wujud kemajuan rekayasa atau teknologi perbenihan.
Ironisnya, hingga saat ini rakyat masih saja kesulitan memperoleh benih unggul. Bahkan, sebagian besar varietas benih dibandrol dengan harga yang tinggi karena merupakan barang impor.
Akibatnya, rakyat menanami lahan pekarangannya dengan benih asal-asalan. Hasil produksi tanaman pekarangan tidak bisa optimal. Begitu pula waktu berbuah atau masa panen kelewat panjang dan sering gagal berbuah karena cuaca ekstrim.
Mestinya kita belajar dari keberhasilan rakyat Tiongkok yang telah berhasil memanfaatkan setiap jengkal halaman rumahnya dengan tanaman jeruk. Jeruk itulah yang kini telah membanjiri pasar Indonesia dengan harga yang relatif lebih murah.
Melihat kondisi menyedihkan itu, mestinya strategi pembangunan pertanian pemerintahan mendatang adalah fokus terhadap usaha pemuliaan benih.Â
Dengan strategi itu, jalan ke arah kesejahteraan karena cukup pangan akan tercapai. Pemerintah pusat dan daerah harus segera membuat terobosan dan membenahi tempat atau balai-balai perbenihan.
Budaya pemuliaan benih juga harus dibangkitkan kembali di tengah masyarakat. Apalagi dinamika teknologi produksi benih di luar negeri berkembang sangat pesat. [SRIM ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H