Â
Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli selalu mengandung ironi yang dalam. Selama ini peringatan hanya sekedar formalitas belaka dan belum memberikan makna yang berarti bagi tumbuh kembangnya anak-anak Indonesia. Nyatanya masih banyak anak Indonesia yang kondisinya dalam penderitaan yang amat sangat, bahkan terdapat ancaman yang setiap saat bisa merenggut jiwanya. Ancaman itu justru berasal dari orang didekatnya.
Publik sering tersentak oleh berita kekerasaan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua. Bahkan sering terjadi seorang ibu yang sedang mengalami gangguan jiwa memaksa anaknya melakukan bunuh diri bersama.Tragedi kehidupan anak di negeri ini seperti puncak gunung es.Â
Penyebab tragedi kehidupan anak sangat kompleks. Faktor kesulitan ekonomi keluarga, kriminalitas, sakit jiwa dan penyakit sosial campur aduk menjadi penyebab tragedi tersebut.
Semakin banyak anak-anak yang hidupnya terancam oleh orang dewasa yang terlibat perbudakan anak, narkoba dan mengidap gangguan kejiwaan atau sakit jiwa. Banyak bahaya yang mengintai anak-anak Indonesia, tetapi diabaikan begitu saja. Padahal bahaya itu acap kali menelan jiwa dan merampas masa depan anak-anak.
Salah satu malapetaka dan bahaya yang mencekam anak tetapi sering terabaikan adalah kasus anak yang orang tuanya pemakai narkoba atau mengidap penyakit jiwa. Begitu juga dengan anak-anak yang lingkungan sekolahnya ada pengajar atau pegawai yang pecandu narkoba dan mengidap gangguan jiwa seperti fedofilia tetapi tidak nampak secara nyata atau pandai menyembunyikan diri dengan penyakitnya itu.
Sering kali kita melihat berita tentang orang tua yang mengalami gangguan jiwa lalu bunuh diri bersama anaknya. Kasus itu merupakan masalah serius yang harus dipikirkan solusinya kedepan oleh semua pihak. Mengingat pada saat ini banyak penderita gangguan jiwa yang memiliki anak.
Betapa riskan dan bahaya bagi anak-anak yang memiliki orang tua atau orang lain di lingkungannya yang mengalami gangguan kejiwaan atau sakit jiwa. Setiap saat nyawa anak-anak itu terancam. Selain itu perkembangan jiwa anak itu sangat rentan. Kasus seorang ibu penderita sakit jiwa yang membunuh anaknya sudah sering terjadi.Â
Bahkan ibu tersebut dibebaskan dari jerat hukum. Kasus orangtua yang mengidap sakit jiwa atau mengalami gangguan kejiwaan saat ini jumlahnya tidak sedikit. Hal itu merupakan efek bola salju sosial yang terus menggelinding dan menimbulkan penderitaan anak-anak yang amat dalam.
Betapa sarat penderitaan bagi anak-anak yang orang tuanya atau di rumah ada orang yang menderita sakit jiwa. Sementara, pranata sosial dan lembaga yang ada belum mampu mengentaskan derita anak tersebut karena berbagai faktor. Resiko anak yang tinggal satu atap dengan orang tua yang menderita sakit jiwa begitu tinggi dan sangat membahayakan kehidupannya. Mulai dari pertumbuhan jiwa dan raganya yang abnormal, hingga harus meregang maut karena dibunuh oleh orang tuanya.
Undang-Undang Perlindungan Anak ( UUPA ) serta lembaga terkait yang ada belum mampu mencari solusi yang tepat bagi anak-anak yang mengalami kondisi diatas. Begitu pula Undang-Undang tentang Kesehatan juga belum memberikan solusi konkrit bagi keluarga pengidap sakit jiwa sehingga tidak berdampak fatal.Â
Jika seorang ayah mengidap gangguan kejiwaan maka anak dan istrinya seperti hidup di neraka jahanam. Dan bila seorang ibu yang mengidap, maka sang anak dan suami bagaikan menghadapi musuh dalam selimut yang setiap saat tanpa terduga bisa menimbulkan hal-hal yang fatal.
Pada umumnya ada ketertutupan jika ada anggota keluarga yang mengidap sakit jiwa. Akibatnya, orang luar cenderung sulit mengenali tanda-tanda gangguan kejiwaan yang menimpa seorang keluarga secara dini. Perawatan secara dini bisa dilakukan sehingga mengurangi resiko yang fatal.Â
Namun, jika keluarga atau suaminya sejak awal telah mengetahui bahwa istrinya mengidap sakit jiwa yang serius tetapi membiarkan saja atau hanya dirawat ala kadarnya sehingga tidak sesuai secara medis, maka sang suami sebetulnya bisa dijerat secara hukum. Faktor utama yang menjadi pencetus gangguan jiwa yaitu faktor genetik ( internal ). Sementara faktor eksternal atau lingkungan lebih disebabkan oleh semakin beratnya beban kehidupan atau ekonomi dimasa sekarang. Selain itu masih banyak faktor psikososial yang dapat menjadi predisposisi atau presipitasi gangguan jiwa. [SRIM]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H