Tahapan pemilu kepala daerah (Pilkada) 2024 menjadi kesempatan bagi pasangan calon untuk menunjukan keteladanan. Sikap hidup sederhana, cinta persatuan dan berjiwa toleransi dari para pahlawan bangsa patut ditiru.
Kandidat paslon kepala daerah harus sadar bahwa para pahlawan yang berkontribusi memerdekakan bangsa kala itu rata-rata hidup kesehariannya sangat bersahaja. Bahkan, lebih banyak menderita daripada hidup bersuka ria untuk pribadi dan keluarganya. Bagi mereka, pemimpin harus rela menderita demi rakyatnya.
Paslon juga harus mampu menumbuhkan sikap kesetiakawanan sosial dan merawat keberagaman. Sikap itu bisa tumbuh subur jika para pemimpin dalam berbagai tingkatan menunjukan contoh langsung tentang hidup sederhana.
Teladan kesederhanaan para pahlawan bangsa seperti terlihat pada sosok Agus Salim yang kontrak rumah di gang yang jalannya becek dan sempit. Teladan juga terlihat pada sosok M Natsir, Perdana Menteri RI Pertama.
Sering kali Natsir pulang ke rumah naik becak, sehabis jam kerja. Setelah tidak menjabat, mobilnya dikembalikan dan ketika pulang naik sepeda ontel dengan supir pribadinya. Teladan serupa juga terlihat dari sosok Mohammad Hatta yang tidak mampu membeli sepatu impiannya sampai akhir hayatnya.
Agenda kampanye paslon kepala daerah untuk Pilkada 2024 yang sangat penting adalah aksi nyata terkait langsung dengan masalah lingkungan. Baik lingkungan hidup maupun lingkungan sosial. Aksi nyata yang tepat adalah sedapat mungkin membeli atau menggunakan produk yang dibuat oleh golongan masyarakat yang lemah.
Terkait dengan usaha penyelamatan lingkungan di negeri ini kita masih prihatin. Pasalnya, Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) di Indonesia yang dilansir oleh badan lingkungan PBB ternyata masih rendah, yakni masih berkisar pada angka 0,57, dari angka mutlak 1. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di negeri ini belum berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Faktor inilah yang berkontribusi memperlemah nilai kesetiakawanan sosial.
Salah satu faktor penyebab masih rendahnya IPPL adalah perilaku konsumsi masyarakat yang kurang bijak dalam pemenuhan kebutuhannya, dimana 49,3 persen berupa bahan pangan masih berasal dari impor atau dari luar daerahnya. Jiwa kesetiakawanan sebaiknya ditumbuhkan lewat lokalisasi bahan pangan atau bisa disebut sebagai pangan tradisional. Dan pemakaiannya seluas-luasnya merupakan aksi nyata yang sangat berarti bagi penyelamatan lingkungan hidup dan bisa menumbuhkan nilai sosial.
Bangsa Indonesia jangan terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor. Sebenarnya banyak orang merindukan pangan lokal atau makanan tradisional. Kondisi tersebut mestinya dimanfaatkan untuk memperbaiki mutu dan kemasan makanan tradisional sehingga lebih adaptif dengan selera pasar.
Selama ini industri makanan tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta memberikan kontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan. Makanan tradisional juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah.
Sayangnya, produsen makanan tradisional masih sarat dengan masalah. Yang paling menonjol adalah kurangnya insentif dan pembinaan sehingga berakibat rentannya perlindungan konsumen. [SRIM]