Â
"Menulis puisi adalah kerja pikiran, bukan kegiatan klenik yang tak terkontrol oleh nalar" -- Joko Pinurbo --
Siapapun dia, baik rakyat jelata hingga sosok presiden sekalipun, jika suka berbohong, biasanya kerja pikirannya terganggu dan akan kesulitan membuat puisi. Puisi adalah manifesto jiwa yang sarat kejujuran tentang portofolio dirinya.
Kali ini saya tertarik mengulas kerja pikiran dua Presiden RI yang gemar membuat puisi, yakni Presiden ketiga RI BJ.Habibie (BJH) dan Pesiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Puisi bisa mencurahkan isi hati yang terdalam dan bisa melukiskan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang. Peringatan Hari Puisi Sedunia maupun peringatan lokal bertujuan untuk merayakan bentuk ekspresi, identitas dan budaya dalam karya sastra puisi.Peringatan merupakan momentum untuk mengenang dan mengapresiasi karya-karya puisi para penyair dari seluruh dunia.
Sejarah menyatakan bahwa perjuangan bangsa dikuatkan oleh puisi. BJH melanjutkan tradisi menambang puisi untuk menjaga energi bangsanya. BJH amat piawai membuat puisi. Sebagai seorang ilmuwan, tokoh penerbangan dan pakar transformasi teknologi kelas dunia, Puisi BJH sangat menyentuh hati dan bisa menginspirasi bangsanya. Pada akhir hayatnya BJH sempat menaruh perhatian besar pada bidang seni dan kebudayaan. Melalui dunia film maupun berbagai macam festival kebudayaan.
Puisi BJH yang dinilai paling menyentuh adalah :
Â
Sumpahku
Terlentang, jatuh, perih kesal
Ibu Pertiwi, engkau pegangan
Janji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan suci
Â
Hancur badan
Tetap berjalan
Jiwa besar dan suci
Membawa aku padamu
Â
Padamu Indonesia
Makmur dan suci
Puisi diatas menggambarkan bahwa BJH merupakan sosok yang jujur dan transparan dalam mencintai bangsanya. Baginya Ibu Pertiwi adalah personifikasi jiwa kebangsaan yang terkandung cita-cita dan mimpi yang harus diwujudkan.
Mencermati kerja pikiran SBY terlihat dari puisi pendek berjudul "Menang" dan "Kangen".Sebelum jadi presiden, SBY adalah seorang Jenderal "pengabdi" setia dunia Infanteri. Sebelum membacakan puisinya SBY biasanya mengupas hakikat logika, etika, dan estetika dalam melihat persoalan. Tidak seperti potongan seorang penyair pada umumnya, SBY saat tampil membaca puisi sering berjaket hitam dengan potongan rambut pendek yang kelewat klimis.
Gaya membaca puisinya dengan intonasi yang datar dan lurus-lurus saja, bak seorang komandan peleton infanteri sedang melakukan briefing kepada anak buah. Sayang dalam pembacaan puisi itu SBY kurang dapat mengeksploitasi bahasa tubuh dengan gerakan-gerakan tangan dan kakinya. Sepertinya SBY masih harus banyak berguru kepada "Si Burung Merak" Rendra. Agar buah puisinya itu menjadi "hidup semakin hidup".
"Hidup ini bukan bulan purnama...." Penggalan bait puisi SBY yang berjudul Menang itu menyiratkan sebuah ambisi untuk mencapai kemenangan. Disini dirinya menggambarkan dialektika kehidupan yang jatuh bangun lalu berharap untuk menang. Baginya "menang" adalah kata terindah sedunia, seperti halnya sepotong kalimat emas Napoleon Bonaparte "Vini Vidi Vici".
BJH muda yang biasa dipanggil Rudy sejak 1950 sudah memikirkan bagaimana dirinya bisa mewujudkan impian Ibu Pertiwi. Impian Ibu Pertiwi semakin menggema di telinga Rudy. Terlebih ketika 1955 dia bertemu dengan Bung Karno dan menyimak gelora pidato Presiden RI pertama itu. Saat itu Bung Karno menyatakan impian-impian Ibu Pertiwi terkait dengan perlu kemandirian bangsa, utamanya sektor perhubungan di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan kapal laut dan pesawat terbang yang dibuat di dalam negeri dan dilakukan dengan kompetensi putra-putri bangsa sendiri.
Sang waktu telah menobatkan BJH menjadi eyang bagi generasi bangsanya. Eyang BJH juga telah membuat Puisi Cinta untuk Ainun Habibie, sang isteri tercinta. Meninggalnya Ainun menjadi ujian berat bagi Eyang BJH. Sungguh menyentuh kalbu, setiap hari selama 100 hari pertama Eyang rutin ke makam sang istri. Selepas kepergian Ainun, Habibie sempat menulis tiga puisi cinta yang didedikasikan untuk istrinya, yakni
 Untuk Ainun
Tepat jam sepuluh pagi, lima puluh tahun yang lalu
Dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim, saya melangkah
Bertemu yang dilahirkan untuk saya dan saya untuk Ainun
Alunan budaya Jawa bernafaskan Islam, menjadikan kita suami istri
Melalui pasang surut kehidupan, penuh dengan kenangan manis
Membangun keluarga sejahtera, damai dan tentram, keluarga sakinah
Tepat jam 10 pagi lima puluh tahun kemudian, di Taman Makam Pahlawan
Setelah membacakan tahlil bersama mereka yang menyayangimu
Saya panjatkan doa untukmu, selalu dalam lindungan-Nya dan bimbingan-Nya
Bersyukur pada Allah SWT yang telah melindungi dan mengilhami kita
Mengatasi tantangan badai kehidupan, berlayar ke akhirat dalam dimensi apa saja
Sekarang sudah 50 tahun berlalu, selalu menyatu dan tetap menyatu sampai akhirat
Â
Ainun
Hari ini,
tepat 50 tahun dan 8 menit yang lalu, kita bertatap muka
Tanpa direncanakan mata kita bertemu, bagaikan kilat menyambar
memukau, memesona 'Getaran Cinta', bagian dari 'Getaran Jiwa'
Alunan getaran yang tinggi, berirama denyutan jantung dan tarikan nafas
Tak terkendali mengkalbui diri kita sepanjang masa sampai akhirat
Sekarang,
50 tahun dan 8 menit kemudian, berkunjung ke Taman Makam Pahlawan
Tempat peristirahatan ragamu, getaran cinta dan getaran jiwa kita telah menyatu
Memukau, memesona berirama denyutan jantung dan tarikan nafas yang tinggi
Memanjatkan doa kepada Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa telah memanunggalkan kita
Karena cinta kita paling suci, murni, sejati,
sempurna dan abadi sampai akhirat
Â
Seribu
Sudah seribu hari Ainun pindah ke dimensi dan keadaan berbeda
Lingkunganmu, kemampuanmu, dan kebutuhanmu pula berbeda
Karena cinta murni, suci, sejati, sempurna, dan abadi tak berbeda
Kita tetap manunggal, menyatu, dan tak berbeda sepanjang masa
Ragamu di Taman Pahlawan, bersama para Pahlawan Bangsa lainnya
Jiwa, roh, batin, dan nuranimu telah menyatu denganku
Dimana ada Ainun ada Habibie, di mana ada Habibie ada Ainun
Tetap manunggal dan menyatu tak terpisahkan lagi sepanjang masa
Titipan Allah bibit cinta Ilahi pada setiap insan kehidupan di mana pun
Sesuai keinginan, kemampuan, kekuatan, dan kehendak-Mu Allah
Kami siram dengan kasih sayang, cinta, iman, taqwa, dan budaya kami
Yang murni, suci, sejati, sempurna, dan abadi sepanjang masa
Allah, lindungi kami dari godaan, gangguan mencemari cinta kami
Perekat kami menyatu, manunggal jiwa, roh, batin, dan nurani kami
Di mana pun dalam keadaan apapun kami tetap tak terpisahkan lagi
Seribu hari, seribu tahun, sampai akhirat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H