Puisi diatas menggambarkan bahwa BJH merupakan sosok yang jujur dan transparan dalam mencintai bangsanya. Baginya Ibu Pertiwi adalah personifikasi jiwa kebangsaan yang terkandung cita-cita dan mimpi yang harus diwujudkan.
Mencermati kerja pikiran SBY terlihat dari puisi pendek berjudul "Menang" dan "Kangen".Sebelum jadi presiden, SBY adalah seorang Jenderal "pengabdi" setia dunia Infanteri. Sebelum membacakan puisinya SBY biasanya mengupas hakikat logika, etika, dan estetika dalam melihat persoalan. Tidak seperti potongan seorang penyair pada umumnya, SBY saat tampil membaca puisi sering berjaket hitam dengan potongan rambut pendek yang kelewat klimis.
Gaya membaca puisinya dengan intonasi yang datar dan lurus-lurus saja, bak seorang komandan peleton infanteri sedang melakukan briefing kepada anak buah. Sayang dalam pembacaan puisi itu SBY kurang dapat mengeksploitasi bahasa tubuh dengan gerakan-gerakan tangan dan kakinya. Sepertinya SBY masih harus banyak berguru kepada "Si Burung Merak" Rendra. Agar buah puisinya itu menjadi "hidup semakin hidup".
"Hidup ini bukan bulan purnama...." Penggalan bait puisi SBY yang berjudul Menang itu menyiratkan sebuah ambisi untuk mencapai kemenangan. Disini dirinya menggambarkan dialektika kehidupan yang jatuh bangun lalu berharap untuk menang. Baginya "menang" adalah kata terindah sedunia, seperti halnya sepotong kalimat emas Napoleon Bonaparte "Vini Vidi Vici".
BJH muda yang biasa dipanggil Rudy sejak 1950 sudah memikirkan bagaimana dirinya bisa mewujudkan impian Ibu Pertiwi. Impian Ibu Pertiwi semakin menggema di telinga Rudy. Terlebih ketika 1955 dia bertemu dengan Bung Karno dan menyimak gelora pidato Presiden RI pertama itu. Saat itu Bung Karno menyatakan impian-impian Ibu Pertiwi terkait dengan perlu kemandirian bangsa, utamanya sektor perhubungan di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan kapal laut dan pesawat terbang yang dibuat di dalam negeri dan dilakukan dengan kompetensi putra-putri bangsa sendiri.
Sang waktu telah menobatkan BJH menjadi eyang bagi generasi bangsanya. Eyang BJH juga telah membuat Puisi Cinta untuk Ainun Habibie, sang isteri tercinta. Meninggalnya Ainun menjadi ujian berat bagi Eyang BJH. Sungguh menyentuh kalbu, setiap hari selama 100 hari pertama Eyang rutin ke makam sang istri. Selepas kepergian Ainun, Habibie sempat menulis tiga puisi cinta yang didedikasikan untuk istrinya, yakni
 Untuk Ainun
Tepat jam sepuluh pagi, lima puluh tahun yang lalu