Â
Datangnya bulan Ramadhan mestinya membuat petani garam bisa tersenyum. Kebutuhan garam dapur dan garam untuk industri menjelang bulan Ramadhan melonjak karena belanja konsumsi masyarakat berupa makanan dan minuman volumenya meningkat pesat.Â
Sayangnya kebutuhan garam industri dipenuhi dengan cara impor. Sedangkan kebutuhan untuk garam dapur justru diusahakan oleh industri besar. Mestinya kebutuhan garam dapur dipenuhi oleh usaha garam rakyat.
Para petani garam diajari bagaimana mengolah garamnya sehingga sesuai dengan standar yang meliputi kebersihan, fortifikasi yodium, hingga pengemasan dan pemasaran.
Sayangnya di rak-rak atau gondola supermarket saya melihat produk garam dapur justru sebagian besar diproduksi oleh pabrik-pabrik besar dan merek yang sudah ternama.
Produk semacam ini mestinya diserahkan kepada usaha garam rakyat. Bukan kepada perusahaan milik konglomerat, sehingga petani garam bisa merasakan keuntungan yang lebih baik.Â
Masalah pergaraman membuat saya prihatin, kemarin saya baca di harian ekonomi dan bisnis terkemuka, yakni koran KONTAN terbitan tanggal 4 Maret 2024 saya baca impor garam industri tahun 2024 mencapai 2,4 juta ton.
Angka itu hasil Keputusan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan ditetapkan dalam Neraca Komoditas.Sesuai dengan Perpres Nomor 32 Tahun 2022 tentang Neraca Komoditas, garam merupakan komoditi yang kebutuhan importasinya harus diputuskan melalui rapat koordinasi terbatas.
Hingga saat ini pelaku industri memerlukan bahan baku garam industri dengan jumlah kuantitas besar dan spesifikasi tertentu, salah satunya adalah garam dengan kadar NaCl lebih dari 97 % yang belum dapat diproduksi sepenuhnya oleh produsen dalam negeri.
Sebagai ibu rumah tangga saya berpikir masalah ini keterlaluan, masak bikin garam industri saja hingga kini tidak mampu. Apa sih sulitnya ? Padahal Indonesia katanya sudah bisa bikin pesawat terbang. Kenapa pemerintah dari waktu ke waktu tidak berusaha keras untuk swasembada garam untuk kebutuhan industri.
Selama ini pengaturan Impor, bahwa garam industri yang dapat diimpor adalah garam dengan Pos Tarif/HS 2501.00.93 dengan uraian barang garam dengan kandungan natrium klorida 97 % atau lebih, dihitung dari basis kering.
Garam untuk keperluan industri tersebut digunakan untuk bahan baku Industri Chlor Alkali Plant (CAP), Industri Farmasi dan Industri pengolahan garam untuk aneka pangan.
Balada Petani Garam
Musim kemarau yang terik merupakan momentum yang baik untuk meningkatkan produksi garam rakyat. Begitupun sebaliknya musim hujan berkepanjangan menyebabkan petani garam menjerit.
Petani garam bersuka ria ketika musim kemarau dalam tempo yang panjang. Namun demikian momentum emas petani garam terlewat begitu saja jika mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk memproduksi garam sebaik-baiknya.
Presiden RI Joko Widodo pernah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional pada 27 Oktober 2022.
Perpres itu mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah untuk percepatan pembangunan pergaraman guna memenuhi kebutuhan garam nasional.Â
Kebutuhan garam nasional harus dapat dipenuhi dari garam produksi dalam negeri oleh petambak garam dan badan usaha paling lambat pada tahun 2024. Ternyata Perpres tersebut belum efektif alias masih gagal.
Mestinya pemerintah mampu memberikan arahan dan bantuan agar produktivitas tambak garam rakyat yang di kisaran 80 ton per hektar (ha) bisa ditingkatkan setidaknya menjadi 100-110 ton per ha. Pada tahun 2023 target produksi garam nasional adalah 1,5 juta ton. Panen raya garam rakyat biasanya terjadi pada bulan Juli hingga Oktober.
Petani garam berusaha keras meningkatkan stok garam, namun pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan impor garam yang jumlahnya tidak menggerus hasil panen garam rakyat.
Perhitungan kebutuhan impor akan mengacu jumlah stok sisa panen dari tahun sebelumnya, jumlah panen garam, dan stok garam impor oleh industri. Pemerintah telah membatasi impor garam, yakni dilakukan ketika stok garam nasional tinggal 25 persen.
Perlu perbaikan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat disingkat Pugar sesuai dengan tantangan zaman. Penggelontoran dana Pugar yang diperuntukkan bagi 10 provinsi yang memiliki basis penggaraman belum efektif untuk memperbaiki harga dan produktivitas garam rakyat.Â
Pentingnya pembukaan lahan baru yang disertai dengan pemberian insentif serta perbaikan sistem distribusi dan metode produksi. Perubahan iklim dan cuaca ekstrim terkait dengan sensitivitas produksi garam lokal bisa diatasi dengan solusi teknologi.
Hingga kini nasib petani garam masih prihatin. Jika produksi garam meningkat harganya jatuh. Karena kalangan industri belum banyak yang mau membeli garam rakyat akibat sudah terikat dengan sindikasi pengimpor garam.
Dan jika produksi merosot mereka dibiarkan menderita. Dan pihak pemerintah punya alasan untuk impor garam secara besar-besaran. Langkah petani garam pada saat ini menjadi serba salah ketika berusaha meningkatkan kualitas produknya.
Meskipun dengan langkah yang terseok-seok sebenarnya petani sudah mampu meningkatkan mutu garamnya. Namun, peningkatan tersebut masih dilecehkan oleh kalangan industri.
Untuk itu, pemerintah dituntut agar bersungguh-sungguh membantu inovasi teknologi produksi pergaraman rakyat. Untuk membantu petani garam dalam menggapai harga yang wajar serta meningkatkan persentase serapan garam rakyat untuk industri domestik diperlukan lembaga semacam badan penyangga garam rakyat.
Pemerintah daerah membuat badan tersebut dan harus mampu menerobos sindikasi garam industri yang selama ini telah meminggirkan garam rakyat. Selain itu Badan tersebut juga berfungsi sebagai pengontrol atau pengawas regulasi garam di lapangan.
Sebenarnya dari bahan baku awal yaitu garam kasar yang dihasilkan sentra industri garam di sepanjang pantai Nusantara sudah mampu memproduksi berbagai jenis garam untuk memenuhi berbagai keperluan. Baik untuk kebutuhan rumah tangga, maupun kebutuhan industri, peternakan, dan pertanian.
Kualitas garam yang belum optimal dan proses produksi yang membutuhkan inovasi teknologi harus segera dituntaskan oleh pemerintah.
Kebutuhan garam sebagai konsumsi rumah tangga sebenarnya volumenya sangat kecil bila dibandingkan dengan sebagai bahan baku untuk proses pengolahan dan industri. Apalagi menurut WHO perlunya inovasi produk garam yang bermutu sehingga bisa menekan resiko penyakit darah tinggi.Â
WHO merekomendasikan rata-rata pemakaian garam bermutu untuk setiap orang sehari-harinya sebesar 5 gram. Selama ini produk garam diserap oleh industri, terutama untuk jenis industri yang membutuhkan banyak klor dan soda.
Menurut data statistik, penggunaan garam untuk industri secara nasional mencapai lebih dari 3 juta ton per-tahun. Sedangkan untuk konsumsi dapur hanya menyerap sekitar 0,7 juta ton per-tahun.
Konsumsi garam nasional idealnya berasal dari garam rakyat yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket untuk bahan pengawet dan keperluan industri, garam halus untuk garam meja atau dapur dan sangat halus untuk bahan baku hujan buatan.
Teknologi industri garam di Indonesia dibandingkan dengan negara lain seperti Australia atau India kondisinya masih tertinggal. Kita belum mampu melakukan proses produksi garam secara optimal.
Padahal sudah ada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang memiliki ribuan peneliti. Kenapa BRIN belum peduli terhadap masalah pergaraman rakyat? [SRIM]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H