Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri berkunjung ke rumah kerabat dekat keluarga, seorang yang saya gelar dengan "sang guru". Â Awalnya kami hanya bercakap biasa, layaknya dua orang yang saling kenal. Â Bertanya kabar, saling melempar canda dan mengalirlah cerita-cerita yang bagi seorang seperti saya, menjadi cerita yang mahal. Karena, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pengetahuan baru untuk saya hari itu.
Di tengah perbincangan sore yang hangat, tidak sengaja mata kami tertuju pada layar 25Â inch yang menyiarkan seekor gajah yang sedang terjebak lilitan kawat di hutan. Â Perilakunya yang tidak berhenti menghentak-hentakkan kakinya ke tanah membuat saya penasaran. Â Bagi saya, perilaku ini sama skali tidak membantunya untuk lepas dari lilitan kawat. Â Melainkan hanya menghabiskan energi dan membuatnya semakin lemah.Â
" Ahhh gajah itu akan mati lebih cepat karena kehabisan energi jika ia tidak berhenti menghentak kakinya". Â Ujar saya. Â Sang guru tersenyum, beliau lalu menjelaskan tentang perilaku mamalia itu.
"Menghentakkan kaki ke tanah menghasilkan suara dengan frekuensi rendah yang menjadi salah satu cara gajah berkomunikasi dengan gajah yang lain.  Biasanya, hentakan kaki gajah menjadi sinyal minta tolong karena berada dalam bahaya ataupun  situasi sulit lainnya.  Atau memberi tahu pada kawanannya adanya potensi bahaya yang mengancam keselamatan kawanan yang lain".
Panjang lebar ia menjelaskan tentang itu, mengingatkan saya sedikit bab animals behavior di mata kuliah dasar ketika masih memakai almamater merah beberapa tahun silam. Â Sang guru sepertinya membaca gestur saya yang masih terkagum-kagum dengan penjelasannya. Ia kemudian bertanya,
"Jika akan memanah ikan di dalam air, kapan saat yang paling tepat melepaskan anak panah? "
Dengan yakin saya menjawab, "ketika posisi ikan melintang di depan anak panah atau anak panah berada di belakang ikan ". Â Asumsi saya, jika keadaannya seperti itu, ikan tidak bisa melihat arah datangnya anak panah.
Senyum sang guru semakin merekah dibanding sebelumnya, meyakinkan saya jika jawaban saya pastilah salah lagi. Â Sang guru pun menjelaskan, bahwa ikan memiliki gurat sisi yang memungkinkan hewan ini mengetahui perubahan getaran dan pergerakan air di sekitarnya.Â
Ketika anak panah dilepaskan, gurat sisi akan melakukan tugasnya memberi informasi adanya perubahan/perpindahan massa air dan ikan akan menghindar dari arah datangnya pergerakan anak panah.Â
Jika posisi ikan melintang (horizontal) di depan anak panah, maka ikan akan mengubah arah gerakannya menjadi vertikal  sehingga anak panah dipastikan tidak akan mengenai sasaran.Â
Jika posisi anak panah dibelakang ikan, maka gerakan ikan semakin fleksibel dan susah tertebak, sehingga kemungkinan anak panah tepat sasaran sangat kecil. Â Dengan sedikit tidak sabar, saya mendesak sang guru memberikan jawaban yang benar.Â
"Ketika ikan berenang lurus menuju arah anak panah, itulah moment yang tepat melepaskan anak panah, dengan kemungkinan akan meleset sangat kecil. Â Karena, ketika menyadari adanya pergerakan air, ikan akan bergerak mengubah arah ke kanan atau ke kiri sehingga sisi badan ikan yang lebar menjadi sasaran anak panah".
Kami gantian tersenyum. Â Ternyata, selain paham ilmunya, memanah ikan adalah kebiasaannya saat kecil ketika beliau masih tinggal di daerah pesisir.
Pertanyaan berikut dari sang guru membuat saya mengernyitkan dahi lebih lama.Â
"Jika direntangkan, berapa panjang rantai DNA Â yang menyusun kromosom ? Dalam pengertian sederhananya, rantai yang membawa seluruh sifat- sifat yang dimiliki setiap orang. Â Petunjuknya, bahwa rantai ini sangat panjang".
"Jika direntangkan, mungkin saja sepanjang jarak Sabang sampai Merauke".  Jawab saya sedikit ragu  setelah beberapa saat berpikir.  Itulah jarak yang cukup panjang dipikiran saya untuk sebuah rantai halus yang tidak kasat mata di dalam tubuh.Â
Ia tertawa kecil.
"Jika satu rantai DNA direntangkan, panjangnya sama dengan jarak bumi ke bulan atau setara dengan jarak seseorang yang mengelilingi bumi 12 kali".Â
Saya terdiam dan sedikit tidak percaya. Â Kami saling memandang.
"Itulah salah satu kekuasaan Tuhan, meletakkan rantai yang begitu panjang dengan sangat rapi dalam ruang yang sangat kecil pada inti sel yang ada di tubuh setiap manusia. Â Jadi, jangan sombong dan banyak- banyak bersyukur. Â Semakin banyak tahu, seorang yang bijak akan paham bahwa sesungguhnya yang ia ketahui tidak banyak. Â Jangan sampai terbalik yah". Â Nasehatnya sambil memperbaiki letak kopiahnya.
Adzan maghrib mulai berkumandang, pertanda majelis sore itu harus bubar. Kami bergegas mempersiapkan diri, untuk menemui Dzat yang telah menciptakan mamalia darat terbesar di dunia (dengan perilakunya), hewan vertebrata akuatik (dengan gurat sisinya) dan  rantai heliks ganda (yang panjang dengan susunan yang rumit).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H